Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Peraturan Daerah
Parameter dan Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah
2016-06-21 11:06:02
 

Ilustrasi.(Foto: Istimewa)
 
Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH

PEKAN INI, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (Perda) bermasalah. Pemerintah beralasan bahwa perda-perda tersebut diantaranya adalah Perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, Perda yang memperpanjang proses perizinan, Perda yang menghambat kemudahan berusaha, serta Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (klinik hukumonline, "Catat, Ini 7 Seluk Beluk Pembatalan Perda yang Perlu Diketahui").

Keputusan Pemerintah Pusat untuk membatalkan beberapa Perda di atas tentu saja memancing reakasi yang tidak saja positif, tetapi banyak juga yang mengkritisi keputusan pembatalan dimaksud, terlebih lagi dengan isu pembatalan beberapa Perda yang berkaitan dengan syariah Islam, yang saat ini justru menjadi polemik dan perdebatan dimasyarakat.

Pada kurun waktu 2004-2009, Pemerintah juga telah membatalkan 1.691 Perda. Data dari laporan penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pada tahun 2011 menunjukkan jumlah perda terbanyak yang dibatalkan adalah Perda retribusi, yaitu berjumlah 1.066 Perda. Selanjutnya, perda pajak sejumlah 224 Perda dan Perda perizinan sebanyak 179 perda. Data lain dari laporan penelitian PSHK tersebut, dalam kurun waktu 2004-2009 pembatalan Perda terbanyak dilakukan pada 2009, yaitu tercatat 830 perda yang dibatalkan.

Pembatalan perda-perda di atas tentu saja menimbulkan pertanyaan publik, terutama oleh pemerintah daerah yang Perdanya dibatalkan. Karena untuk menghasilan sebuah Perda tidak saja membutuhkan tahapan dan prosedur yang panjang yang harus ditempuh oleh pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota dan DPRD, tetapi juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, secara secara yuridis apasaja yang menjadi parameter atau alasan yang dibenarkan secara hukum untuk membatalkan suatu Perda, serta bagaimana pembatalan Perda yang sesuai dengan ketentun peraturan perundang-undangan ?

Parameter dan Mekanisme Pembatalan Perda

Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Gubernur/Bupati/Walikota (Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang_Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, selanjutnya disebut UU P3).

Adapun materi muatan Perda Provinsi/Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 14 UU P3 jo. Pasal 236 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya disebut UU Pemda).

Selama ini parameter yang menjadi acuan apakah suatu Perda dapat dibatalkan atau tidak adalah bahwa Perda dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan (Pasal 250 ayat (1) UU Pemda). Ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi disini dapat diartikan bahwa suatu Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), UU/Perppu, PP, Perpres, serta Perda Kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Perda Propinsi (Pasal 7 ayat (1) UU P3).

Adapun suatu Perda dapat dikatakan bertentangan dengan "kepentingan umum" apabila Perda tersebut menimbulkan terganggunya kerukunan antar warga masyarakat; terganggunya akses terhadap pelayanan publik; terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender (Pasal 250 ayat (2) UU Pemda).

Jadi, dapat diyakini, apabila dipaksakan keberlakuannya maka akan menimbulkan konflik di masyarakat. Sebagai contoh, banyak pengusaha dan warga masyarakat yang merasa keberatan dengan adanya pungutan ganda dalam perizinan. Pungutan ganda mengakibatkan disinsentif ekonomi yang dapat merusak pola perdagangan, inventasi dan produk yang konsekuensinya menyebabkan ekonomi biaya tinggi (higt cosh economy). Sedangkan Perda yang bertentangan dengan kesusilaan adalah norma yang berkaitan dengan adab dan sopan santun, kelakuan yang baik, dan tata krama yang luhur (Penjelasan Pasal 250 ayat (1) UU Pemda).

Secara yuridis, terdapat 2 (dua) mekanisme dalam melakukan pembatalan suatu Perda, yaitu pertama, melalui mekanisme judicial review, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Adapun dasar hukum dalam penerapan mekanisme pembatalan perda ini adalah Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan kedua, melalui mekanisme executive review, yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atau Gubernur (selaku wakil Pemerintah Pusat). Adapun dasar hukumnya adalah Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda.

Adapun melalui jalur judicial review, terhadap suatu Perda Propinsi atau Kabupaten/Kota yang diduga bertentangan dengan UU, dapat dimohonkan suatu keberatan secara langsung kepada MA, atau dapat disampaikan melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah tempat kedudukan Pemohon. Ini berarti, jika memang suatu Perda dinilai bertentangan dengan UU, terhadap perda tersebut dapat dilakukan uji materiil, untuk selanjutnya MA akan memutus apakah suatu Perda bertentang dengan UU dan patut dibatalkan atau tidak. Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota adalah salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Contoh Perda yang pernah diuji ke MA adalah Pasal 30 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur ("Perda Papua 6/2011"). Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 P/Hum/2012 Tahun 2012, MA mencabut Perda Papua 6/2011.

Sehingga uji materiil terhadap Perda dengan UU ini masih merupakan lingkup tugas dan wewenang MA sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menyebutkan: "MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang."

Adapun pembatalan perda melalui mekanisme executive review, dilakukan oleh Mendagri atau Gubernur. Apabila Perda Propinsi/Kabupaten/Kota bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, yang merujuk pada ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda.

Apabila kita analisis kedua mekanisme tersebut, yaitu antara mekanisme judicial review dengan executive review memang terdapat potensi ketidaksinkronan dan tumpang tindih diantara keduanya, tetapi disisi lain kedua mekanisme ini juga bisa saling melengkapi dalam menentukan mekanisme pembatalan suatu Perda.

Ketidaksinkronan disini adalah dalam hal melakukan uji terhadap Perda Propinsi atau Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila merujuk kepada ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (yang merupakan aturan yang lebih tinggi dibanding UU Pemda) jelas diatur bahwa terhadap Perda yang bertentangan dengan UU mekanisme pengujiannya harus melalu judical review di MA, sedangkan pengaturan di dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda hanya menyatakan "ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi".

Agar ketentuan dalam kedua kedua peraturan perundang-undang di atas (Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda) tidak menimbulkan pertentangan dan problematika hukum di dalam penerapannya maka kedua aturan tersebut harus dimaknai bahwa untuk pembatalan Perda Propinsi Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan UU, mekanisme pembatalannya harus melalui judicial review oleh MA, sedangkan apabila Perda yang akan dibatalkan bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan di atasnya selain UU, kepentingan umum, dan kesusilaan maka mekanisme pembatalannya harus dilakukan oleh Mendagri atau Gubernur melalui mekanisme executive review.

Kebijakan Pemerintah Kedepan

Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945), sehingga apapun yang dilakukan oleh pemerintah baik itu Pemerintah Pusat maupun daerah harus senantiasa berpedoman pada peraturan perundang-undangan, tidak berdasarkan pada kekuasaan semata. Untuk itu:

pertama, walau dapat dipahami bahwa mekanisme pembatalan perda dapat dilakukan melalui judicial review oleh MA dan executive review oleh Mendagri atau Gubernur, tapi agar terjadi sinkronisasi dan tidak menimbulkan komplikasi dan pertentangan hukum baru di dalam implementasinya maka harus dimaknai bahwa pembatalan suatu Perda apabila bertentang dengan suatu UU maka harus ditempuh melalui mekanisme judicial review, sedangkan apabila pembatalan Perda yang bertentang dengan peraturan yang lebih tinggi selain UU, kepentingan umum, dan kesusilaan, mekanisme pembatalan perda dilakukan melalui executie review oleh Mendagri dan Gubernur;

kedua, agar mekanisme pembatalan Perda melaui mekanisme executive review dapat dilakukan dengan baik dan mekanisme, transparan, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum sekaligus tidak menimbulkan ekses penyalahgunaan kekuasaan oleh Mendagri maupun Gubernur, pengaturan mengenai mekanisme pembatalan Perda melalui jalur executive review harus diatur melalu peraturan yang lebih rendah, yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 251 UU Pemda, sehingga pembatalan Perda oleh Mendagri atau Gubernur dilakukan secara terukur dan tidak hanya berdasarkan kepentingan kekuasaan semata;

ketiga, pemerintah harus mengatur mekanisme sekaligus merespon dengan baik pelaporan atau pengaduan dari masyarakat terhadap adanya perda-perda bermasalah. Hal ini juga berkaitan dengan pengawasan perda yang hanya dirasakan efektif bagi perda-perda pajak dan retribusi daerah. Perda di luar bidang tersebut jarang terdengar dibatalkan oleh pemerintah. Padahal berbagai pemberitaan banyak menyorot keberadaan perda yang bermasalah, di luar perda pajak dan retribusi daerah.

Khusus terkait dengan kebijakan Pemerintah yang membatalkan 3.143 Perda yang diduga bermasalah, agar tidak terjadi polemik dan muncul permasalahan baru dimasyarakat, khususnya terhadap perda-perda yang bernuansa syariah Islam dan memiliki sensitifitas tinggi di masyarakat, hendaknya pemerintah:

pertama, agar dalam melakukan pembatalan terhadap 3.143 Perda yang diduga bermasalah, pemerintah lebih terbuka dan transparan, dengan mengumumkan nama-nama Perda yang dianggap bermasalah dan layak dicabut, sehingga tidak menimbulkan polemik dan permasalahan baru ditengah masyarakat, khususnya terhadap perda-perda yang bernuansa syariah Islam,

kedua, pemerintah harus berani mengambil sikap tegas dan tidak setengah-setengah dalam menghadapi tekanan publik, untuk itu pemerintah harus punya argument yang kuat dalam mencabut Perda dimaksud dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan ketiga, untuk menjaga kesinambungan dan keselarasan ritme dalam kebijakan dan pembangunan antara pusat dan daerah, Pemerintah harus secara rutin melakukan kajian dan executive review terhadap perda-perda yang bermasalah, jangan sampai menunggu eskalasi berkembang atau muncul permasalahan di masyarakatar barulah Pemerintah bersikap.

Penulis adalah tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya (Legislative Drafter), Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI, (e-mail: zaqiu_dpr@yahoo.com).(zr/bh/sya)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2