JAKARTA, Berita HUKUM - Subdit 2 Harta Benda Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya berhasil mengungkap kasus penipuan dan atau penggelapan dan atau pemalsuan Jo Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) proyek fiktif. Dari pengungkapan itu, polisi menahan pasangan suami istri inisial DK alias DW dan KA dari 7 tersangka yang diduga terlibat dalam proyek investasi fiktif.
5 orang tersangka lainnya tidak dilakukan penahanan dikarenakan berperan pasif dalam kasus investasi bodong tersebut.
Adapun kerugian korban HRM yang ditawarkan enam proyek investasi oleh para tersangka mencapai Rp 39,5 miliar.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus menuturkan, penangkapan para tersangka setelah HRM melaporkan dugaan penipuan itu ke Polda Metro Jaya pada 21 Januari 2021.
Dalam laporannya, korban menyampaikan telah ditawarkan investasi beberapa proyek mulai batu bara hingga pembelian lahan pada 2019.
"Proyek pertama, pembelian lahan seharga Rp 24 miliar kepada korban, pada Januari 2019. Kemudian pada bulan April sampai dengan Mei 2019 juga menawarkan untuk proyek suplai MFO dari Bojonegoro yang kemudian korban mengeluarkan dana Rp 4,5 miliar lebih," ujar Yusri, di Mapolda Metro Jaya, Rabu (27/1).
Setelah itu, pelaku kembali menawarkan kepada korban investasi lain, meski dua proyek sebelumnya belum diketahui kejelasannya.
Kala itu pelaku dengan bujuk rayunya menawarkan investasi proyek batu bara dan pengelolaan lahar parkir pada Juni 2019.
Untuk investasi batu bara di Jawa Timur senilai Rp 5,8 miliar, sementara lahan parkir sebesar Rp 117 juta berikut kegiatan lainnya Rp 50 juta.
"Bulan juli tentang proyek MFO lagi di Cilegon, Banten, sekitar Rp 3 miliar serta penawaran tanah di Depok senilai Rp 2,2 miliar. Jadi ada 6 proyek ditawarkan kepada korban dengan total Rp 39 miliar," tutur Yusri.
Tapi seiring berjalan waktu, korban menyadari modal yang dikeluarkan tak kunjung pulang dan mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut.
Korban baru menyadari setelah memeriksa identitas para pelaku, khususnya DK alias DW yang menawarkan investasi tidak tercatat.
"Ada KTP palsu dengan nama DW. Dengan KTP palsu (DW) kemudian menawarkan termasuk bagaimana perjanjian kepada korban menggunakan DW," jelas Yusri.
Adapun istri DK alias DW, KA berperan sebagai penampung uang hasil menipu korban dan membelikan beberapa aset tanah dan rumah di beberapa lokasi.
Sementara lima peran tersangka lainnya tak dijelaskan dalam kasus penipuan tersebut.
"KA perannya yang menerima transferan dari suami. Dari kejahatan ini dibelikan aset yang lain seperti tanah dan rumah," ucap Yusri.
Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat pasal berbeda sesuai peranan masing-masing dalam melakukan aksi penipuan itu.
"Ancaman Pasal 372 dan 378 KUHP, kemudian Pasal 263 tentang pemalsuan dokumen. Juga di pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman 20 tahun penjara," beber Yusri.
Sementara pengacara korban, Albert Yulius menuturkan, pelaku mengaku kepada kliennya sebagai menantu petinggi Polri. Hal itu dilakukan diduga untuk memuluskan aksinya.
"Mengaku menantu dari mantan petinggi Polri. Itulah yang coba diyakinkan kepada korban, supaya bisa mendapatkan modal, uang, investasi dan pekerjaannya. Apakah realita pekerjaannya ada? Kenyataannya fiktif," ujar Albert.
Sementara kerugian Rp 39,5 miliar lebih sendiri, menurut Albert baru sebatas modal yang telah disetorkan kliennya kepada tersangka. Jumlah itu di luar keuntungan yang dijanjikan sebelumnya.
"Jika dengan janji keuntungannya sudah berapa kali lipat. Keuntungan itu tak terealisasi," tandasnya.(bh/amp) |