JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Kepolisian setempat harus harus dimintai keterangan terkait pembantaian petani di Mesuji, Lampung. Pasalnya, peristiwa sadis dan biadab tersebut, tidak mungkin tidak diketahui kepolisian setempat. Bahkan, jajaran pimpinan kepolisian setempat serta pihak-pihak terkait harus bertanggung jawab dan diseret ke pengadilan sebagai pelaku pelanggaran berat HAM.
"Semuanya, termasuk Kapolda Lampung yang saat itu menjabat, juga harus dimintai pertanggungjawabannya. Ada semacam pembiaran pembantaian petani di Mesuji. Polisi sama sekali tidak memperlihatkan upaya memeriksa serta menyeret pelakunya ke pengadilan,” kata Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam rilisnya yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (15/12).
IPW pun mendesak, agar dibentuk tim gabungan untuk melakukan investigasi. Tim itu harus terdiri dari pihak yang kompeten yang merupakan gabungan dari unsur Mabes Polri dan Komnas HAM. Pimpinan tertinggi suatu daerah adalah Kapolda dan harus diperiksa lebih dahulu. Selanjutnya, jajaran di bawah tanggung jawanya. "Ini adalah bentuk pembiaran atas pelanggaran berat HAM di Mesuji," tegasnya.
Pemerintah Indonesia, lanjyt dia, harus pula bersikap tegas terhadap investor Malaysia yang menanamklan investasi di Indonesia. Terutama pengusaha sektor perkebunan kelapa sawit. Untuk itu ditambahkannya bahwa para pengusaha yang diduga terlibat juga harus diperiksa dan diseret ke pengadilan selaku pelanggar berat HAM.
"Pemerintah jangan membiarkan investor semacam itu semena-mena, apalagi mengadu domba rakyat demi kepentingan investasinya. Kasus Mesuji hendaknya tidak dipolitisasi untuk kemudian menjadi pengalihan isu dari kasus-kasus besar saat ini,” kata Neta.
Dalam kesmepatan terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menyatakan bahwa pembantaian para petani Mesuji, Lampung itu adalah kolaborasi antara aparat keamanan dan pebisnis. Selain mereka, pihak berwenang juga harus memeriksa pamswakarsa dan aktor-aktor lokal, seperti pemda, DPRD, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Perkebunan setempat yang memberikan izin perluasan perkebunan itu.
“Kami dapat informasi bahwa pamswakarsa yang dipekerjakan pihak perkebunan merupakan preman-preman lokal. Pola ini modus lama yang selalu berulang di daerah konflik, seperti Poso dan Ambon. Preman-preman itu dan dijadikan pasukan dan polisi sengaja mmebiarkannya dengan menutup mata dan telinga,” tandasnya.(mic/wmr/irw)
|