JAKARTA, Berita HUKUM - Dampak ekonomi yang ditimbulkan dari sebaran pandemik Covid-19 atau virus Corona yang kian terasa. Pada penutupan bursa hari ini (23/3), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi ke kisaran Rp 16.550, akibat dari sentimen pandemik Corona. Untuk itu, Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Edy Susetyo mendesak pemerintah untuk segera membuat rencana aksi yang komprehensif atau stimulus ekonomi konkrit jika opsi lockdown terpaksa dilakukan, sehingga pada akhir Mei hingga awal Juni perekonomian Indonesia sudah bisa recovery.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan dua paket kebijakan fiskal demi meredam dampak virus Corona terhadap ekonomi domestik. Alokasi yang disiapkan pemerintah untuk paket kebijakan stimulus Jilid I yakni sebesar Rp 10,3 triliun untuk bidang pariwisata. Sedangkan, pada stimulus Jilid II berisi kebijakan fiskal dan non-fiskal sebesar Rp 22,9 triliun untuk insentif bagi PPh 21, PPh 22 Pasal Impor, dan PPh 25 Pasal Badan. Kebijakan ini, dinilai Andreas, belum cukup memberi angin segar bagi semua kalangan, termasuk sektor informal.
"Pemberian insentif harus menyasar semua kalangan, yakni pekerja di sektor selain manufaktur dan pekerja yang penghasilannya masih di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Pemerintah telah mengeluarkan anjuran berupa social distancing (pembatasan sosial), maka kebijakan stimulus fiskal selanjutnya harus diubah sesuai dengan kondisi aktual agar lebih efektif," tegas Andreas saat diwawancara Parlementaria melalui aplikasi pesan singkat, baru-baru ini.
Politisi Fraksi PDI Perjuangan juga mengingatkan besarnya resiko ekonomi yang ditimbulkan jika opsi lockdown atau isolasi wilayah diberlakukan. Menurutnya, resikonya bisa lebih besar dari negara-negara lainnya karena tenaga kerja Indonesia yang sebagian besar berasal dari sektor informal. Setidaknya terdapat 57,2 persen atau 74,1 juta pekerja yang berasal dari sektor informal jika merujuk pada data tahun 2019 lalu.
"Kalau opsi lockdown terpaksa diambil, maka pemerintah harus menyiapkan insentif khusus untuk sektor informal. Selama ini skemanya kurang komprehensif karena terbatas pada industri pengolahan padahal banyak sektor lain terdampak, misalnya perdagangan dan jasa. Lockdown akan mengunci mobilitas atau distribusi barang dan jasa yang otomatis akan memperburuk perekonomian, mereka juga harus dipikirkan agar mendapat insentif," terangnya.
Hingga saat ini, pemerintah terus mengkaji untuk menerbitkan paket stimulus Jilid III. Jumat pekan lalu, melalui konferensi pers live streaming, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa pemerintah akan memprioritaskan sektor kesehatan dalam paket stimulus tersebut. Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020, yang mengharuskan seluruh perangkat negara mengalokasikan anggaran serta pengadaan barang dan jasa untuk mempercepat penanganan Covid-19.
"Kondisi ekonomi Indonesia akan sangat tergantung pada seberapa cepat kita menangani pandemik Corona. Kondisi sekarang sangat berbeda dengan tahun 1998 dan 2018 yang menghantam industri keuangan, saat ini yang terhantam adalah global supply chain sehingga mempengaruhi produksi barang. Diperkirakan akan ada potential loss yang terjadi sebagai pemberian insentif selama wabah Corona, kami perkirakan resiko penurunan hingga Rp 120 triliun jika kondisi ini terus berlanjut," tutup Andreas.(alw/es/DPR/bh/sya) |