JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari menilai pemerintah tidak pernah memiliki rencana untuk melakukan pencegahan agar subsidi gas elpiji tepat sasaran. Hal ini dalam rangka menanggapi keputusan pemerintah melalui PT Pertamina Patra Niaga yang telah menaikkan harga gas elpiji nonsubsidi dengan kenaikan 21 persen dari rata-rata harga CPA (Contract Price Aramco) sepanjang tahun 2021.
Diah menambahkan, tidak semua pengguna gas elpiji nonsubsidi tergolong masyarakat menengah ke atas. Tetapi, juga banyak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), seperti rumah makan, industri mikro makanan, dan sebagainya yang menggunakan gas elpiji nonsubsidi. Karena itu, ia menyayangkan keputusan pemerintah ini, meskipun komparasi penggunaan gas elpiji subsidi dan nonsubsidi adalah 93 persen berbanding 7 persen.
"Nah kalau (gas elpiji nonsubsidi) naik kan mereka kena imbas, malah nantinya mereka beralih ke elpiji bersubsidi. Itu artinya, pemerintah hanya mengandalkan fungsi pengawasan saja," jelas Diah dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Minggu (13/3).
Jika terjadi peralihan penggunaan dari gas elpiji 12 kilogram nonsubsidi k gas elpiji 3 kilogram bersubsidi, Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI ini menilai akan semakin memberatkan kondisi APBN yang hingga saat ini harus menanggung beban subsidi minyak dan gas (migas).
"Di tengah situasi masyarakat sedang berat, kami dari F-PKS sangat menyayangkannya. Karena kenaikan (harga komoditas energi) yang berturut-turut, BBM naik, gas juga naik. Harusnya (harga) jangan naik dulu, tunggu sampai perekonomian membaik dulu. Kan (beban) masyarakat jadi berat," kritik Diah.
Diah menjelaskan, meski Indonesia ini merupakan salah satu negara dengan potensi gas alam yang besar di dunia, tetapi pada kenyataannya, jutaan ton gas elpiji yang setiap hari dikonsumsi masyarakatnya adalah berasal dari importasi dari negara lain. Hal ini terjadi karena Indonesia tidak memiliki teknologi dan infrastruktur untuk mengolah bahan baku menjadi gas elpiji yang siap digunakan.
"Jadi jutaan ton elpiji itu impor, karena walaupun potensi gas alam kita besar, tapi cuma sedikit yang bisa langsung diubah jadi elpiji. Karena untuk mengubah itu diperlukan teknologi dan infrastruktur tersendiri dan kita tidak punya itu," ujar legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat II tersebut.
Karena itu, ia meminta pemerintah tidak bisa selamanya bergantung kepada pasokan impor saja. Namun harus juga mulai melakukan mitigasi usaha serius pada pengolahan sumber daya alam yang ada, hingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan gas elpiji di dalam negeri. "Saya kira dulu saat pemerintah memindahkan dari minyak tanah ke gas elpiji itu rakyat tidak tahu kalau itu impor. Sekarang ketika harga internasional tinggi, ya kena imbaslah kita," pungkas alumni Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran ini.
Seperti diketahui, per 1 Maret 2022, pemerintah resmi menaikan harga gas elpiji non subsidi. Kenaikan harga ini berbeda-beda di beberapa tempat. Untuk gas elpiji 5,5 kilogram maupun 12 kilogram. Dengan adanya kenaikan, harga elpiji non subsidi yang berlaku saat ini sekitar Rp15.000 per kilogram.(rdn/sf/DPR/bh/sya)
|