JAKARTA-Centre for Electoral Reform (Cetro) mengusulkan, agar sistem Pemilu 2014 berbasis elektronik. Dengan sistem itu, pemilu akan efisiensi dan efektifitas, karena pemungutan suara tidak lagi memerlukan surat suara. Sehingga biaya percetakan surat suara, distribusi, dan anggaran bagi panitia pemungutan suara (PPS), serta tempat pemungutan suara (TPS) bisa ditekan minimal.
Melalui sistem pemilu elektronik, pemilih hanya perlu memberikan suaranya melalui perangkat elektronik yang sudah disediakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Itu lebih gampang ketimbang mencontreng,” ujar Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (25/8).
Menurut dia, penerapan sistem pemilu elektronik juga akan merampingkan jenjang penghitungan suara di tingkat TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Sebab, suara pemilih akan langsung direkapitulasi ditingkat kabupaten/kota, lalu langsung diteruskan ke pusat. “Sistem voting yang dimaksud di sini adalah menggunakan sistem elektronik, bukan online karena akan mudah di hack,” terangnya.
Apabila usul ini diterima, maka KPU hanya perlu mempersiapkan perangkat elektronik dan operatornya. Ada pun uji coba serta sosialisasi sistem pemilu elektronik bisa digelar mulai saat ini. Momentum pilkada bisa dijadikan sebagai salah satu ajang uji coba terhadap sistem pemilu elektronik, sehingga akan memunculkan kepercayaan publik. “Tapi tentu saja ada daerah tertentu yang harus dikecualikan apabila sistem ini diterapkan,” ujarnya.
Pemberian Sanksi
Hadar juga mengusulkan pemberian sanksi tegas bagi partai politik (parpol) yang menggunakan dana ilegal untuk membiayai kegiatan operasional. Pengaturan dana parpol merupakan isu yang sangat penting. UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol, telah mengatur secara ketat sumber penerimaan keuangan partai.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Justru masih banyak parpol yang tidak mau membuat atau apalagi menunjukkan laporan keuangannya. Parpol-parpol itu sudah jelas melanggar UU, tetapi tidak ada sanksi bagi mereka. Jika ada parpol yang tak mau menunjukkan laporan keuangannya, harus ada sanksi tegas.
"Sanksi nyata di UU ada pengaturan parpol yang tidak memberikan laporan keuangan, tidak boleh ikut pemilu. Ini pengaturan yang cukup keras agar mereka mau menyerahkan laporan keuangannya," tegas Hadar.
Pendapat serupa disampaikan peneliti senior Perludem Didik Supriyanto. Ia juga setuju perlu diberikannya sanksi tegas kepada parpol yang tidak membuat laporan keuangan. "Bagi parpol, yang ditakuti adalah tak bisa ikut pemilu, karena nanti mereka tak bisa akses kekuasaan. Dalan UU tidak ada sanksi seperti ini, karena UU mereka sendiri yang buat. Jadi, ini sebenarnya ini lingkaran setan," jelas Didik.
Terkait dengan laporan keuangan parpol, Koordinator Divisi Politik ICW Ade Irawan mengungkapkan pihaknya pernah meminta kepada 9 (sembilan) parpol. Namun, dari jumlah itu hanya 3 (tiga) parpol yang memberikan laporan keuangan.
"PKB, PKS, dan PPP. PKB agak lumayan. Dua lainnya (PKS dan PPP) hanya berupa satu lembar. Itupun disusun seadanya," bebernya.
Dalam kesempatan terpisah, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham mempertanyakan maksud pernyataan politisi Partai Demokrat Marzuki Alie yang mengusulkan biaya kampanye parpol menggunakan dana APBN. selama ini negara telah menyumbang dana untuk parpol melalui wakil mereka di dewan, baik itu DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.
"Maksud Marzuki Alie itu apa? Dalam konteks parpol, hal apa yang harus dibiayai oleh APBN. Masak semua operasional parpol harus dibiayai APBN," tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Wakil ketua Dewan pembinan Partai Demokrat Marzuki Alie melontarkan gagasan, agar biaya kampanye parpol untuk pemilu legislatif, pemilihan presiden, maupun pemilukada dibiayai APBN. Ide ini didasari, agar parpol tidak menyelewengkan dana APBN untuk membiayai dana Negara.(mic/bie/biz)
|