JAKARTA, Berita HUKUM - Pemohon yang mengajukan gugatan formil dan materiil terhadap UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) perbaiki permohonan. Ketiga Pemohon, yaitu Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah menyampaikan poin-poin perbaikan dalam permohonan yang teregistrasi dengan No. 26/PUU-XIII/2015 pada persidangan yang digelar Selasa (17/3) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Di hadapan panel hakim yang diketuai Patrialis Akbar, dua prinsipal Pemohon yakni Heriyanto dan Ramdansyah hadir untuk menyampaikan poin perbaikan permohonan. Heriyanto menyampaikan salah satu perbaikan yang dilakukan yakni adanya argumentasi yang lebih jelas pada legal standing Para Pemohon. Sebelumnya Para Pemohon menggunakan legal standing sebagai warga negara, pembayar pajak, dan pengajar. Setelah diperbaiki, Para Pemohon menggunakan legal standing sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Bahwa Para Pemohon di dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diselenggarakan, berencana untuk maju sebagai calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota, baik dari jalur partai politik maupun jalur perseorangan,” ujar Heriyanto yang juga mengungkapkan bahwa Pemohon 1 yakni Yanda Zaihifni Ishak selaku Ketua Mahkamah Partai Golkar akan mencalonkan diri menjadi wakil gubernur Jambi.
Dalam kesempatan yang sama, Heriyanto menegaskan bahwa pihaknya pada prinsipnya menyetujui pemilihan kepala daerah secara langsung dan demokratis. Namun, Para Pemohon melihat UU a quo dan revisinya salah satunya justru tidak memberikan sanksi terhadap pelanggaran politik uang dan jual beli parpol dalam pelaksanaan Pemilukada.
Dengan tidak diaturnya mengenai pelanggaran-pelanggaran tersebut, Pemohon khawatir tidak dapat terpilih sebagai kepala daerah. Sebab, Pemohon yakin dengan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut calon kepala daerah yang terpilih adalah pasangan calon yang memiliki uang dan/atau calon yang memiliki jabatan. “Bisa diartikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 hanya akan mendorong dan melegitimasi keterpilihan pasangan calon yang memiliki uang dan/atau jabatan,” tegas Heriyanto.
Meski pada Pasal 73 UU a quo ditegaskan adanya larangan politik uang namun pengenaan sanksi terhadap pelanggaran berupa politik uang tidak dapat dilakukan. Sebab, diskualifikasi pasangan calon menurut pasal yang sama harus didahului dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Padahal menurut Pemohon, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak dapat dijatuhkan bila tidak ada materiil sanksi pidananya.
“Bagaimana pengadilan akan memutus putusan yang berkekuatan hukum tetap, sedangkan materiil sanksi pidana politik uang itu tidak diatur di dalamnya, serta juga tidak ada materiil sanksi pidana jual-beli partai politik. Sama saja sanksi administrasi tidak dapat ditegakkan, begitu juga dengan sanksi pidana. Pasal 73 ini sama saja melegitimasi adanya pelanggaran politik uang,” ucap Heriyanto khawatir.
Selain mengajukan uji materiil, Para Pemohon juga kembali menegaskan bahwa mereka tetap mengajukan pengujian formil terhadap UU a quo. Para Pemohon melihat UU No. 1 Tahun 2015 beserta revisinya memiliki cacat formil dari sisi pembentukannya karena DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang telah melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, khususnya asas kejelasan tujuan dapat dilaksanakan kedayagunaan dan kehasilgunaan kejelasan rumusan.
Sebelum menutup sidang kali ini, Patrialis mengesahkan lima bukti tertulis yang diajukan oleh Para Pemohon. “Sudah confirm ya. Baik, P-1 sampai P-5 kita sahkan,” tukas Patrialis yang didampingi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo selaku anggota panel hakim.(YustiNurulAgustin/mk/bh/sya) |