JAKARTA, BeritaHUKUM - Issue Money Politics dan SARA acapkali digunakan untuk komoditas politik guna mendowngrade elektabilitas dan kapabilitas kompetitor. Karyono Wibowo sebagai pengamat politik mengemukakan bahwa, Masyarakat harus aware atau lebih waspada akan Pilkada yang diwarnai oleh isue-isue tersebut.
Terkait hal tersebut Karyono Wibowo mengemukakan, diperlukannya upaya meningkatkan awarness masyarakat akan money politics dan SARA dalam menjelang Pilkada serentak 2018 mendatang, demikian kemuka Karyono saat diskusi terbuka bersama yang bertajuk; "Pilkada Serentak Tanpa Money Politik dan Sara" yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta, Jumat (26/1).
"Dalam konteks behaviour faktor primordialisme masih sangat kuat dalam penentuan calon yang kuat di mata masyarakat, seperti agama, suku /etnis, perbedaan ras / golongan, gender / LGBT, putra daerah atau bukan, perbedaan wilayah," ujarnya, Jumat (26/1).
Berdasarkan hasil riset, kemuka Karyono Wibowo menyatakan faktor primordialisme sangat berkaitan dengan pemilihan Paslon saat jelang Pilkada berlangsung,
"Sentimen paling tinggi ialah sentimen agama, pengaruhnya rata rata di seluruh Indonesia," jelasnya.
Karyono menambahkan bahwa, faktanya masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk ada semenjak lama, politik identitas itu terjadi. "Namun kalau dahulu tidak digunakan secara terbuka, diekspos ke permukaan publik dan saling menyadari saja," ucapnya.
Lanjutnya, semisal etnis Jawa, etnis Batak, etnis Bugis yang mana ada
paslon etnis tertentu, maka kecenderungan pemilih bakal memilih paslon warnanya berasal sama.
Namun, saat sistem perwakilan dahulu sebelum reformasi tak diekploitasi, dimana dahulu Kepala Daerah dipilih DPR, jadi mempersempit ruang keterwakilan.
"Maka ruang transaksi 'sempit', namun bisa dibuka. Disinilah membuka ruang bagi 'Money Politik' dan 'Sara'. Namun berbeda dengan pemilihan langsung, dimana ruang lingkup lebih luas, biayanya lebih besar," ungkapnya.
"Terkadang ada yang berpikiran bahwa money politik adalah Instrumen penting dalam pemenangan dalam Pilkada, selain itu anggapan menerima pemberian, namun memilih sesuai aturan. Kemudian terjadi semacam anomali," tukasnya.
Sementara, Money politik masih banyak beranggapan masih efektif, soalnya pemilih masih pragmatis. "Karena terlalu banyak kandidat mengeluarkan janji-janji, namun tak terealisasi. Hingga menimbulkan frustasi besar besaran.
Menurutnya, Demokrasi yang terjadi kali ini adalah demokrasi transaksional, dengan kata lain demokrasi 'wani piro'. "Maka itulah, supaya demokrasi yang bisa dilakukan secara hakiki, maka upayanya perlu diupayakan mencegah demokrasi politik dan membangun kesadaran / awarness masyarakat akan terjadinya money politics," tandasnya.
Dibandingan sentimen yang lain, sentimen agama lebih besar, umumnya pemilih yang memilih calon latar belakang agamanya sama, latar belakang suku, atau dengan wilayah tertentu, disesuaikan dengan putra daerah ataupun bukan.
"Sehubungan data seperti ini, dimana rata-rata masyarakat Indonesia lebih memilih pemimpin laki laki daripada perempuan. Maka itu jika seandainya ada pasangan calon laki-laki dan perempuan, maka akan memilih laki-laki, dan tentunya disesuaikan beberapa faktor dan wilayah," paparnya.
Karyono juga melanjutkan, dimana menggunakan sentimen primordial untuk menaikkan eletabilitas di satu sisi dan menurunkan elektabilitas pasangan lawan.
"Paling masif ialah isu agama, issue SARA sendiri muncul di
masa Pilkada dan Pilpres, karena adanya sentimen primordial tadi," pungkasnya.(bh/mnd).
|