JAKARTA, Berita HUKUM - Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dewar Pers oleh dua organisasi jurnalis PPWI dan SPRI telah memasuki persidangan ke-4 pada Kamis (7/6) kemarin, di ruang Mudjono lantai 3 Pengadilan Negeri Jakata Pusat. Sidang yang berlangsung dari pukul 11.15 Wib itu mengagendakan penyerahan dan verifikasi surat kuasa dari pihak Dewan Pers kepada majelis hakim.
Dewan Pers pada kesempatan ini diwakili dua kuasa hukumnya, Frans dan Dyah, telah membawa dan menyerahkan sejumlah berkas, di antaranya Surat Kuasa yang ditanda-tangani oleh seluruh anggota Dewan Pers.
Dari penyerahan kelengkapan surat kuasa oleh kuasa hukum Dewan Pers di persidangan kali ini, terkuak satu kejanggalan lagi tentang internal pengurus Dewan Pers. Pasalnya, dari sembilan orang anggota Dewan Pers yang ikut bertanda-tangan di surat kuasa tersebut terdapat nama Sinyo Harry Sarundajang yang masih menjabat salah satu anggota Dewan Pers tersebut.
Sedangkan, kita ketahui bahwa Sinyo Harry Sarundajang, yang mantan Gubernur Sulawesi Utara ini sejak 20 Februari 2018 lalu telah dilantik Presiden Jokowi dan telah resmi sebagai Duta Besar dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Philipina merangkap Kepulauan Marshall dan Republik Palau.
Hal ini dipertanyakan para penasehat hukum penggugat, yang terdiri atas Dolfie Rompas, SH, MH; Beatrix Nidya Pontolaeng, SH; Hanoch A.P. Pangemanan, SH; Asterina Julifenti Tiarma, SH; dan Tondi Madingin A.N. Situmeang, SH. Mereka mempertanyakan keanehan tersebut.
"Pak Sarundajang sudah sejak beberapa bulan lalu menjadi Duta Besar di Philipina, apakah Beliau masih bisa menandatangani surat kuasa dari Dewan Pers?" tanya pengacara Rompas mewakili team penasehat hukum penggugat di depan hakim saat bersama pengacara dewan pers kedepan menghadap Majelis, yang lantas juga di tanya oleh salah satu hakim mengatakan, "Kalau gitu, Iya, apa boleh hal itu dilakukannya," .
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, melalui Sekretaris Jenderal PPWI, Fachrul Razi. "Kita menyampaikan penghargaan kepada pihak Dewan Pers yang telah memperbaiki diri dengan mengikuti aturan yang semestinya, menyampaikan Surat Kuasa yang ditandatangani langsung oleh sembilan anggota Dewan Pers," ujarnya.
Dalam pernyataan persnya, Ketua umum SPRI sebagai penggugat kemudian mempertanyakan juga hal tersebut. "Ada yang menarik perhatian kami sebagai penggugat, pada sidang kali ini, bahwa salah satu anggota Dewan Pers Sinyo Sarundajang, yang kini menjabat sebagai Duta Besar dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Philipina merangkap Kepulauan Marshall dan Republik Palau ikut pula menanda-tangani surat kuasa tersebut. Selain mengapresiasi sikap Dewan Pers yang memenuhi legal standingnya, kami juga mempertanyakan kedudukan Sarundajang sebagai pejabat negara yang merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pers," tegas Mandagi penuh tanda tanya.
Terlepas dari gugatan kami, lanjut pria yang berasal dari satu daerah dengan Sinyo Harry Sarundajang itu, bahwa secara etika dan profesionalisme, bagaimana mungkin yang bersangkutan (red - Sarundajang) belum melepas jabatannya selaku anggota Dewan Pers padahal sudah bertugas di luar negeri.
"Ini berarti Dewan Pers sudah tidak independen lagi karena ada oknum di dalamnya kini menduduki jabatan dalam pemerintahan sebagai Duta Besar. Seharusnya sebelum dilantik sebagai Duta Besar telah resmi mengundurkan diri sebagai Anggota Dewan Pers," ungkap Mandagi.
Sementara itu, Wilson Lalengke mengomentari 'keunikan' Dewan Pers terkait keberadaan oknum pejabat pemerintah di tubuh lembaga yang oleh ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, wajib bersifat independen.
"Pantas saja Dewan Pers jadi semacam pembunuh wartawan dimana-mana, pengurusnya terindikasi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu," ujar lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Kenyataan itu, lanjut Wilson, telah menjadi bukti nyata yang tidak terbantahkan bahwa Dewan Pers melanggar UU No. 40 tahun 1999, khususnya pasal 15 ayat (1) dan ayat (3). Sekedar mengingatkan semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif, dan masyarakat umum, tentang unsur-unsur yang diperkenankan oleh Undang-Undang Pers untuk menjadi anggota Dewan Pers, berikut dikopi-pastekan bunyi pasal 15 ayat (3) UU No. 40 tahun 1999, yakni:
"Anggota Dewan Pers terdiri dari : a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers."
Dari ketentuan pasal 15 ayat (3) tersebut, sebut Wilson, tidak satupun poin yang menyatakan bahwa pejabat pemerintah, termasuk duta besar, perwakilan pemerintah di dalam maupun di luar negeri, menteri, dan mereka yang hidupnya dibiayai atau digaji dari uang negara, boleh menjadi anggota Dewan Pers.
"Jadi, sangat wajar jika rekan saya dari SPRI mempertanyakan keberadaan Sarundajang yang menjabat Dubes RI sejak 20 Februari 2018, namun hingga hari ini masih bercokol di Dewan Pers. Kita perlu mengoreksi kebijakan pemerintah dalam mengelola pers dengan menempatkan pejabat aktif pemerintahan di lembaga yang seharusnya independen itu," tegas lulusan Master of Science in Global Ethics dari Birmingham University, Inggris itu.
Lebih jauh, Wilson juga mempertanyakan pola kerja administratif Dewan Pers terkait surat kuasa yang diberikan kepada majelis hakim pada persidangan Kamis, 7 Juni 2018 pagi "Surat Kuasa penunjukkan penasehat hukum Dewan Pers yang ditandatangani oleh sembilan anggotanya, bertanggal 28 Mei 2018. Persidangan ke-3 lalu tertanggal 31 Mei 2018, 4 hari setelah surat kuasa dimaksud tersedia. Mengapa pada saat sidang ketiga itu mereka belum bisa menyerahkan surat kuasa yang telah tersedia di tanggal 28 Mei itu? Saya boleh curiga dong, bahwa surat kuasa itu hasil rekayasa, bahkan mungkin terjadi pemalsuan di sana," tukas Wilson penuh tanda tanya.
Sedangkan pantauan pewarta, saat melakukan review atas setiap dokumen yang diperlihatkan dan diserahkan kepada majelis hakim, terdengar komentar singkat yang cukup menggelikan dari Ketua Majelis Hakim, Abdul Kohar, SH, MH. Pasalnya, semua sebanyak 9 orang tanda tangan para anggota Dewan Pers di surat kuasa tersebut seluruhnya ada 9 meterai Rp. 6.000,-
"Kaya sekali ya, semua ditandatangani di atas meterai enam ribu," seloroh Hakim Ketua Abdul Kohar.
Sementata juga, pada saat sidang berlangsung hakim menegur seorang yang hadir mengikuti sidang dari tim dewan pers yang terus mengambil foto, "coba itu yang ambil foto, jangan mengambil foto, sudah izin belum? Siapa yang suruh ambil foto," bentak hakim.(APL/Red/bh/sya) |