JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Maraknya kasus penyiksaan diperparah lagi dengan tidak ditempuhnya upaya hukum untuk mengkriminalisasi atau menghukum pelaku penyiksaan, ditambah belum diratifikasi optional protocol konvensi menentang penyiksaan sebagai sarana preventif untuk mencegah penyiksaan merupakan kondisi yang semakin memperburuk keadaan kasus-kasus penyiksaan. Mirisnya lagi, pelaku penyiksaan semakin melanggeng dengan karier yang cemerlang dan menduduki jabatan-jabatan strategis.
Tanggal 26 Juni lalu, dunia memperingati hari anti penyiksaan, dimana 25 tahun silam konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia ditandatangani (konvensi).
Pada moment tersebut diperingati sebagai lahirnya hari internasional untuk mendukung korban-korban penyiksaan (International day in support of victims of torture), hal tersebut ditunjukan untuk memberikan solidaritas kepada mereka yang pikiran, jiwa dan badannya pernah mengalami penyiksaan.
Empat belas Tahun silam Indonesia telah meratifikasi konvesi tersebut kedalam hukum yang ada saat ini, namun menurut monitoring KontraS saat ini (Juli 2011-Juni 2012) tercatat adanya dugaan 86 peristiwa penyiksaan dan terdapat 243 orang korban di mana jumlahnya meningkat tajam dibandingkan periode sebelumnya (Juli 2010-Juni 2011) sebanyak 28 dugaan peristiwa penyiksaan dengan jumlah korban 49 orang.
Sementara itu untuk kategori dugaan pelakunya pada periode ini tercatat aparat Polri sejumlah 14 peristiwa, TNI sejumlah 60 peristiwa, dan sipir penjara sebanyak 12 peristiwa.
Sementara menurut penelitian LBH Jakarta, pada Tahun 2008 di wilayah hukum Polda Metro Jaya terdapat 83,65% dari 367 responden menyatakan bahwa pada saat berada ditingkat kepolisian telah mengalami kekerasan, baik pada saat penangkapan dan pemeriksaan.
Pada Tahun 2010, saat pemeriksaan : diwilayah Banda Aceh terdapat 81,2% ; lhoksumawe 86,7% ; Jakarta 65,3 % ; Makassar 67,1% ; dan Surabaya 97,9%. Sedangkan Tahun 2011 di Kota Jayapura dan kabupaten Jayapura dimana 61% dari seluruh responden, mengalami penyiksaan fisik oleh polisi pada saat penangkapaan, 47% pada saat pemeriksaan, dan 31% pada penahanan.
Pada prakteknya perilaku penyiksaan diakibatkan oleh masih belum adanya sebuah kebijakan yang jelas terhadap para pelaku. Hal ini ditandai dengan, para pelaku penyiksaan masih bebas dan selalu saja hukumannya hanya sanksi indispliner. Sementara para petinggi di institusi cuci tangan dan seolah-olah tidak ada komando, padahal dalam praktek keseharian penyiksaan yang terjadi kemungkinan besar terjadi karena ada komando dari pimpinan.
Perkembangan demokrasi di Indonesia yang dibangga-banggakan oleh Pemerintah Indonesia, tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia (HAM).
Negara fasih berbicara demokrasi dan bangga pada dunia, seakan-akan Indonesia sudah berhasil benar. Tetapi di lain sisi, ada persoalan yang sangat kontras dengan realita, yakni meningkatnya kasus penyiksaan terhadap masyarakat oleh aparat yang berkepentingan dalam hal ini kepolisian dan TNI (bhc/rat/rls)
|