Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH.
BEBERAPA WAKTU lalu masyarakat sempat dikagetkan dengan berbagai pemberitaaan di media massa mengenai Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan BPJS Kesehatan �tidak sesuai syariah�. Hal ini tentu saja menimbulkan pandangan dan reaksi yang berbeda-beda di masyarakat, ada sebagian yang mendukung fatwa tersebut, tetapi tidak sedikit juga yang meragukannya, bagaimana mungkin secara sosiologis kehadiran BJPS Kesehatan (terlepas dari kelemahannya disana-sini) sudah sangat membantu kehidupan masyarakat, terutama yang tidak mampu untuk menalangi biaya kesehatannya. Fatwa ini juga menimbulkan kebingungan dan sekaligus keresahan dikalangan umat muslim.
Fatwa MUI tersebut berawal dari Keputusan Ijtima� Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V tentang Masalah-Masalah Fikih Kontenporer (masail fiqhiyah mu�ashiroh) yang diselenggarakan di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Sya�ban 1436 H/7-10 Juni 2015 M, yang mengeluarkan beberapa keputusan, salah satu di antaranya adalah keputusan tentang Panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan. Dalam keputusannya, Komisi Fatwa MUI menilai bahwa penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. MUI juga mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah.
Beberapa alasan yang menjadi dasar komisi fatwa MUI menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan prinsip syariah adalah: pertama, ketidakjelasan bentuk akadnya (menyebabkan gharar); kedua, kepemilikan premi atau dana yang disetorkan peserta ke BPJS (apakah menjadi milik Negara, BPJS, atau peserta ? (maisir); dan ketiga, penyaluran dana/investasi iuran para peserta BPJS. Terdapat kekhawatiran penyaluran dana disalurkan ke sektor yang tidak halal (berpotensi riba kalau ternyata didepositokan ke bank yang memberi bunga). Berdasarkan kajian tersebut, direkomendasikan beberapa hal berikut adalah, pertama, agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka Jaminan Kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk negeri sebagai wujud pelayanan publik sebagai modal dasar bagi terciptanya suasana kondusif di masyarakat tanpa melihat latar belakangnya; dan kedua, agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan memformat modus operandi BPJS Kesehatan agar sesuai dengan prinsip syariah (Keputusan Ijtima� Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia, halaman 56, 57, dan 61).
Disisi lain, beberapa kalangan seperti dari Nahdlatul Ulama (NU) menilai bahwa pernyataan fatwa MUI soal BPJS Kesehatan �tidak sesuai syariah� merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Seharusnya MUI duduk bersama pemerintah sebelum mengeluarkan fatwa tersebut agar tidak menimbulkan kegaduhan. NU juga menyatakan menerima dan memperbolehkan BPJS Kesehatan. Pendapat NU ini diputuskan dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah (masalah kekinian) di arena Muktamar ke-33 NU di Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Selain itu, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) menilai berlebihan fatwa MUI soal BPJS Kesehatan tersebut. Fatwa itu dinilai tidak lengkap dan berpotensi menurunkan wibawa MUI sebagai organisasi para ulama.
Prinsip Pengelolaan BPJS
BPJS Kesehatan merupakan salah satu dari program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang meliputi jaminan kesehatan; jaminan kecelakaan kerja; jaminan hari tua; jaminan pensiun; dan jaminan kematian (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, selanjutnya disebut UU SJSN). Bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 3 UU SJSN). Untuk menyelenggarakan SJSN dimaksud dibentuklah BPJS, yaitu badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Nasional, selanjutnya disebut UU BPJS). Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh BPJS secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai (Pasal 47 (1) UU SJSN).
Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial yakni kegotongroyongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah; kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan; dan bersifat nirlaba. Jaminan kesehatan diselenggarakan juga berdasarkan prinsip ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya, yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (Pasal 19 UU SJSN). Adapun peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah, anggota keluarga, atau dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain yang menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran (Pasal 20 UU SJSN).
SJSN diselenggarakan dengan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 UU SJSN), sedangkan penyelenggaraannya dilaksanakan berdasarkan prinsip: pertama, kegotong-royongan yaitu kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya; kedua, nirlaba yaitu pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta; ketiga, keterbukaan yaitu mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap peserta; keempat, kehati-hatian yaitu pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib; kelima, akuntabilitas yaitu pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan; keenam, portabilitas yaitu memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; ketujuh, kepesertaan bersifat wajib yaitu mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap; kedelapan, dana amanat yaitu iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial; dan kesembilan, hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta, berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial (Pasal 4 UU SJSN jo. Pasal 4 UU BPJS).
Dari uraian mengenai tujuan, asas, dan prinsip SJSN di atas dapat kita ketahui bahwa penyelenggraan SJSN yang salah satunya adalah jaminan kesehatan sangatlah penting untuk untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Adapun pengelolaan dana peserta dikeleola oleh badan yang yang memang khusus dibentuk untuk menyelenggarakan SJSN, yaitu BPJS dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Pengelolaan SJSN ini dilakukan dengan prinsip kegotong-royongan; nirlaba; keterbukaan; kehati-hatian; akuntabilitas; . portabilitas; kepesertaan bersifat wajib; dana amanat; dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta, sehingga pengelolaannya pun dapat dipertanggujawabkan.
Sehubungan dengan fatwa MUI bahwa BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah, dapat dijelaskan bahwa, pertama, terkait dengan ketidakjelasan bentuk akad, hal ini secara tegas disinggung di dalam prinsip maupun pasal-pasal yang ada di UU SJSN dan UU BPJS, kepesertaan SJSN bersifat wajib bagi setiap masyarakat, sehingga dirasa kurang tepat apabila akad atau tujuan kepesertaan dalam mengikuti program ini dianggap belum jelas, karena setiap peserta selain diwajibkan sebagai peserta juga mendapat manfaat yang sangat diperlukan bagi kesejahteraan peserta yang bersangkutan maupun keluarganya, bahkan bagi peserta yang tidak memiliki penghasilan, Negara mengupayakan untuk dapat menanggung iurannya untuk dibayakan kepada BPJS; kedua, terkait status kepemilikan premi apakah menjadi milik Negara, peserta, atau BPJS, ini juga sudah jelas diatur di dalam UU SJSN dan UU BPJS bahwa SJSN ini diselenggarakan sesuai dengan prinsip dana amanah, yaitu iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial, serta hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta, berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Jadi jelas bahwa dana premi yang dikumpulkan selain sebagian dalam prosentase tertentu digunakan untuk oprasional BPJS, tetapi sebagai besar kembali lagi ke peserta berupa manfaat dari SJSN itu sendiri maupun beserta dana pengembangannya. Ketiga, terkait keraguan bahwa iuran peserta digunakan untuk diinvestasikan ke sektor-sektor yang tidak halal sehingga berpotensi untuk riba, dalam hal ini UU SJSN atau UU BPJS maupun peraturan pelaksanaanya belum mengantisipasi hal tersebut, sehingga kedepan perlu dibentuk instrument baik yang berbentuk manajemen keuangan maupun bentuk investasi yang memungkinkan peserta dapat memilih apakah dana iurannya dapat dikelola dan dikembangkan dalam bentuk yang konvensional atau syariah.
Perbaikan BPJS Ke Depan
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan, fatwa MUI tidak sesuai syariah terhadap BPJS Kesehatan tersebut harus dimaknai sebagai kritik positif terhadap perbaikan sekaligus juga pembenahan sistem penyelenggaraan di BPJS Kesehatan agar tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Kehadiran MUI sebenarnya sangat penting untuk mengingatkan penyelenggara negara (pemerintah) agar dalam menyelenggarakan bidang-bidang tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dilaksanakan sesuai denga prinsip atau tidak bertentangan dengan ajaran agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat.
Fatwa MUI yang menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai syariahnya tersebut bukanlah pada konteks kelembagaan, manfaat, maupun tujuan didirikannya BPJS Kesehatan, tetapi lebih kepada hal "teknis" pengelolaan dananya, misalnya bagaimana dana tersebut diterima, dikelola, diinvestasikan, prosentase iuran bagi BPJS, dan lain-lain. Untuk itu, perbaikan atau koreksi hanya ditujukan pada teknis pengelolaan keuangannya saja tidak kepada kelembagaanya, sehingga dapat dipastikan tidak melanggar asas atau prinsip dalam pengelolaan keuangan yang sesuai dengan syariah. Hal ini tentu saja harus segera direpon oleh pemerintah, karena juga menyangkut hak peserta untuk memilih sistem keuangan seperti apa yang ia inginkan, sekaligus juga menjamin ketenangan bathin peserta dalam mengikuti BPJS Kesehatan maupun jenis jaminan sosial lainnya.
Untuk itu kiranya pemerintah perlu mengambil langka-langkah: pertama, pemerintah, BPJS beserta pihak-pihak lain yang berkepentingan seperti MUI, NU, dan alim ulama harus bertemu dan membicarakan bagaimana pengelolaan BPJS Kesehatan kedepan, terutama dalam konteks pengelolaan iuran peserta agar dapat sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ini penting untuk memberikan pilihan kepada masyarakat tentang sistem pengelolaan iuran kepesertaan yang bagaimana yang paling cocok dengan dirinya, apakah bersifat konvensional atau syariah, yang bertujuan menjamin hak dan memberikan ketenangan bagi peserta dalam mengikuti program BPJS Kesehatan ini, karena banyak peserta yang sangat perduli dengan hal tersebut; kedua, pemerintah harus segera membentuk instrument hukum berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau bahkan mengamandemen UU SJSN dan UU BPJS dengan memasukaan substansi"teknis" pengelolaan dana iuran peserta, misalnya bagaimana uang tersebut diterima, dikelola, diinvestasikan, prosentase iuran bagi BPJS, dan lain-lain, yang sesuai dengan prinsip-prinsip konvensional maupun syariah, agar dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan hukum di masyarakat dalam merespon permasalahan di atas, sekaligus juga menciptakan payung hukum yang legal, sehingga kedepan perdebatan terkait syariah dalam pengelolaan dana BPJS Kesehatan maupun sistem jaminan sosial lainnya tidak lagi menjadi persoalan.(zr/bh/sya)
*Penulis adalah tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI.
|