JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Aksi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa di Pelabuhan Sape, Lambu, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (24/12), didasari alasan mengganggu kelancaran arus penyeberangan kapal ferry. Selain itu, aksi pengunjuk rasa itu juga telah meresahkan masyarakat.
“Petugas bertindak tegas, karena pendemo mengganggu aktivitas masyarakat pengguna kapal ferry. Kami juga khawatir bisa mengundang kekerasan, karena pendudukan jembatan penyeberangan. Akhirnya kepolisian bertindak tegas, dan ini juga dalam rangka pelaksanaan Operasi Lilin 2011,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Saud Usman Nasution, Sabtu (24/12).
Menurut dia, polisi mengambil tindakan tegas ini, karena Bupati setempat dan Kapolda NTB sudah melaksanakan negosiasi secara berulang-ulang. Tapi massa tidak mau beranjak dari jembatan yang dikuasainya itu, karena dua tuntutannya tidak dipenuhi. “Akhirnya kami harus melakukan tindakan tegas membubarkan massa yang menguasai jembatan itu,” papar Saud.
Sementara Kabag Penum Divhumas Polri Kombes Pol. Boy Rafli Amar mengatakan, Polres Bima mengamnkan 47 orang. Mereka akan menjalani pemeriksan. Ada dari mereka diduga sebagai provokator. "Kami memeriksa 47 orang terkait insiden di Bima. Situasi di Pelabuhan Sape sudah terkendali," ujarnya.
Mengenai dugaan unjuk dipicu protes warga terhadap dikeluarkannya izin pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), Polri tidak dapat memastikan apakah izin operasional pertambangan tersebut akan ditarik atau tidak. "Ini merupakan wewenang pemda setempat. Keputusan tersebut tergantung dari pemda yang bersangkutan," ujar Boy.
Izin Pertambangan
Aksi protes warga kecamatan Sape dan kecamatan Lambu di Bima dengan menduduki Pelabuhan Sape berujung dengan bentrokan, dipicu penolakan izin usaha pertambangan PT SMN. Warga yang tergabung dalam Front Rakyat anti Tambang (FRAT) ini, sebelumnya juga menyampaikan dua tuntutan.
Tuntutan tersebut, yakni pencabutan Surat Keputusan Bupati Bima Nomor 188 tahun 2010 yang memberikan izin pertambangan kepada PT SMN dan pembebasan tersangka berinisial AS yang sudah diserahkan ke jaksa penuntut umum. AS sendiri dikabarkan ditangkap atas dugaan provokasi pembakaran Kantor Camat Lumbu, pada 10 Maret 2011 lalu.
Perlu diketahui, Pemkab Bima memberikan izin operasional tambang emas kepada PT SMN. Perusahaan ini mendapat Izin Usaha Penambangan (IUP) pada 2008 selama 25 tahun, yang kemudian diperbaharui Pemkab Bima dengan mengeluarkan surat IUP bernomor 188/45/357/004/2010.
PT SMN memiliki areal tambang seluas 24.980 hektare di Kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu. Sedangkan 14.318 hektare untuk PT Indo Mineral Cipta Persada (IMCP) yang beroperasi di kecamatan Parado atas ijin Pemerintah Pusat. PT SMN sendiri merupakan perusahaan tambang emas yang sebagian besar sahamnya dimiliki PT Arc Exploration Ltd dari Australia.
Penolakan warga Lambu, Bima terhadap SMN sebenarnya sudah dilakukan sejak dua tahun terakhir. FRAT menyampaikan penolakan, karena tambang emas itu dianggap akan membahayakan mata pencarian warga yang sebagian besar penduduknya bertani dan nelayan. Keberadaan tambang dikhawatirkan akan membongkar tanah dan mengganggu sumber air yang akhirnya akan menggangu pertanian warga.
Sejak itu, warga yang tergabung dalam FRAT terus menerus menggelar aksi penolakan. Akhir Januari lalu, sekitar 1.500 orang mendatangi camat untuk menyatakan penolakannya. Sayangnya, aksi mereka tak mendapat tanggapan memuaskan. Lalu, pada Februari 2011, ribuan warga kembali long march sepanjang 2 kilometer ke kantor camat Lambu. Pemerintah justru mengerahkan 250 personil aparat Polres Kota Bima, 60 personel gabungan intel dan Bareskrim, dan 60 personil Brimob Polda NTB untuk membubarkan aksi warga itu.(dbs/bie/wmr)
|