JAKARTA, Berita HUKUM - Dalam proses penegakan hukum, penahanan merupakan salah satu bagian terpenting yang kaitannya erat dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah mendorong perbaikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Pada Juli 2015, berdasarkan data dari Ditjen PAS, terdapat 178.063 penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), 34% nya adalah tahanan pra-persidangan. Polisi sebagai salah satu Institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan perlu mendapatkan sorotan luas, kewenangan besar minim kontrol menjadi alasan kuat untuk memulai wacana reformasi kewenangan penahanan di tubuh kepolisian. Salah satu tujuannya tentu saja untuk memperingan beban over kapasitas yang diderita Rutan dan Lapas.
Sebelumnya, pada tahun 2004 hingga 2011, populasi rumah tahanan (Rutan) dan Lapas meledak dua kali lipat dari 71.500 menjadi 144.000 orang. Padahal kapasitas penjara hanya bertambah kurang dari 2% saja. Penghuni rutan dan lapas tentu bukan hanya terpidana, namun juga tahanan.
Beban rutan dan Lapas akibat over kapasiti maka pemerintah harus merombak total sistem penahanan. "Sistem penahanan mesti meliputi perbaikan dasar dan mekanisme kontrol, izin, dan komplain terhadap upaya penahanan," kata Supriyadi W. Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR saat sesi diskusi bertema, "Reformasi sistem Penahanan di Indonesia" di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta pada Rabu (11/11).
Ada beberapa catatan, terkait persoalan penahanan yang terjadi di Indonesia jika diperhatikan perlu ditelaah dan dikaji ulang, menurut pandangan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Center for Detention Studies (CDC), Supriyadi W. Eddyono Direktur Eksekutif ICJR mengurai bahwa, "Pertama (1), Kewenangan penyidik untuk menahan yang tak tersentuh," ujarnya.
Terkait hal diatas, menurut pandangan Supriyadi bahwa, sistem penahanan, khususnya pada penyidikan di Indonesia tidak mengenal mekanisme kontrol dan izin dari lembaga lain. Akibatnya, penyidik tidak tersentuh dalam melakukan penahanan.
Yang Kedua (2), menurut pandangan ICJR, “Bentuk penahanan secara Yuridis bisa diancam pidana di atas 5 tahun."
Dengan besaran ancaman seperti ini, sesuai aturan dalam tindak pidana diluar KUHP hingga tahun 2014 memperburuk keadaan, serta sekonyong-konyong ancaman pidana ini tinggi dan berarti membuka peluang penahanan semakin tinggi juga.
Beliaupun mencontohkan, ibarat seperti pada kasus UU ITE pada pasal 27 ayat (3) UU ITE dimana, ancaman pidana bisa mencapai diatas 5 tahun. Sedangkan, di dalam KUHP untuk delik penghinaan, tertinggi ancaman dengan pidana 4 tahun ke atas,, alhasil banyak tersangka kasus ITE yang kena tahan.
Tinjauan selanjutnya, yang menjadi catatan terkait persoalan penahanan yang terjadi di Indonesia, menurut Dr. Luhut M. P. Pangaribuan selaku Advokat Senior dan Akademisi mengatakan, "Penahanan, kalo diibaratkan penyakit. Itu seperti penyakit diabetes atau kencing manis. Efek dari penahanan tidaklah sederhana, kerugian bisa muncul, baik dari orang yang ditahan maupun negara sebagai pemilik kewenangan," ungkapnya.
Bahkan selama sistem penahanan ini, muncul yang tadi ia sebutkan ibaratnya seperti, “penyakit diabetes' atau terkadang tak luput pula akan menjadi 'rekening gendut' kemungkinan," ujarnya lagi.
Sebagai Advokat Senior di Indonesia, iapun menyampaikan kalau hal ini nampak juga dampaknya paling faktual adalah terjadinya kelebihan kapasitas tempat-tempat penahanan, dari Rutan sampai dengan Lapas.
Dalam konteks pasal 21 ayat (1) KUHP, implementasi unsur kekhawatiran dalam penahanan didasarkan pada keadaan tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana.
Atas dasar itu kewenangan penahanan beserta dengan mekanisme kontrolnya harus ditinjau ulang, Dr. Luhut M. P. Pangaribuan mengatakan bahwa, implementasi keadaan kekhawatiran dalam penahanan, digunakan seluruh penilaian dikembalikan pada penyidik, sehingga secara subjektif penyidik tidak perlu membuktikan atau mempertimbangkan 'keadaan' yang dimaksudkan.
Menurutnya, perlu ada pembuktian berimbang yang dapat membuktikan adanya keadaaan kekhawatiran penyidik, dihubungkan dengan mekanisme uji dan komplain yang secara praktik tidak pernah membuktikan pembuktian pada penyidik.
Selanjutnya, menurut Dr. Luhut M. P. Pangaribuan yang perlu ditinjau kembali terkait persoalan penahanan yaitu, mekanisme komplain berupa Praperadilan tidak layak. Pasalnya, "Karena ditahan, dia akan dihukum. Penetapan orang sebagai tersangka, masuk dalam objek praperadilan, soalnya penetapan sebagai tersangka ada sesuatu yang bersalah," ungkapnya lagi, saat sesi diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (11/11).
Luhut M. P. Pangaribuan menganggap, mekanisme ini sangat tidak efektif, Praperadilan menempatkan tahanan sebagai orang yang melakukan permohonan, imbasnya beban pembuktian terdapat pada pemohon. Padahal seluruh penilaian dan kompetensi pembuktian ada pada penyidik, paparnya.
Sementara, Direktur Eksekutif ICJR kemudian yang perlu ditelaah dan ditinjau kembali ada menurut kajian ICJR dan CDS adalah Pembuktian timpang dan prosedural dan mekanisme komplain minim akses. Yang pada intinya menurut pandangan ICJR bahwa, "Kewenangan besar penyidik berbanding terbalik dengan regulasi dan mekanisme kontrol, izin, dan komplain. Indikasinya timbul kesewenang-wenangan dan tinggi angka penahanan,” lanjut Supriyadi.
Intinya demi mengurangi beban Rutan dan Lapas akibat over capacity ICJR dan CDS menyumbang sarankan agar Pemerintah merombak total sistem penahanan melalui mekanisme kontrol, izin, dan komplain penahanan.(bh/mnd)
|