JAKARTA, Berita HUKUM - Salah kelola dengan human error dan praktik KKN menjadi sumber kerugian di PT Merpati Nusantara Airlines. Akibatnya, negara juga dirugikan dengan membebani keuangan negara. Inilah kesimpulan yang disampaikan Panja Komisi VI DPR RI menyangkut pengelolaan maskapai penerbangan plat merah Merpari Airlines.
Raker Komisi VI DPR dengan Meneg BUMN Dahlan Iskan, Senin (7/7), menyampaikan laporan akhir Panja tentang berbagai temuan salah kelola dan salah kebijakan di internal Merpati. Sejak tahun 1998 Merpati sudah mulai merugi dan terus bertambah hingga saat ini dengan total utang per Januari 2014 sebesar Rp7,647 triliun.
Di antara butir kesimpulan Panja Komisi VI menyebutkan, Menteri BUMN selaku kuasa pemegang saham tidak menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap PT. Merpati Nusantara Airlines sebagai BUMN. Prinsip kehati-hatian juga tidak diterapkan oleh manajemen dalam mengelola perusahaan. Penyalahgunaan wewenang sering kali terjadi yang mengakibatkan perusahaan kian terpuruk.
Bahkan, perusahaan sudah berhenti karena tak sanggup lagi membeli fuel. Ini indikasi perusahaan telah digerogoti dari dalam. Pemanfaatan aset produktif juga tidak dilakukan dengan maksimal, seperti Merpati Maintenance Facility (MMF) dan Merpati Training Centre (MTC) tidak dikelola secara professional. Dengan begitu, tak ada pemasukan keuangan bagi perusahaan.
Sementara itu, Komisi VI juga menyampaikan butir rekomendasi kepada Meneg BUMN yang diantaranya meminta BPK untuk melakukan audit investigasi terhadap PT. Merpati Nusantara Airlines. Hal yang paling mengundang kontroversial adalah pengadaan pesawat MA-60 Merpati dari Xian Aircraft Industry yang terindikasi korupsi. Untuk itu, BPK juga diminta mengaudit proses pengadaan ini.
Rekomendasi lainnya dari Panja, Merpati diminta memberhentikan segera direksi PT Merpati Nusantara Airlines dan menggantinya dengan yang baru. Selanjutnya, Merpati juga diminta mengajukan pola restrukturisasi utang jangka panjang sekaligus menyelesaikan utang kepada karyawan Merpati.
Sementara, Komisi VI DPR RI menyerahkan hasil laporan Panitia Kerja (Panja) menyangkut investigasi Merpati Nusantara kepada Menteri Negara (Meneg) BUMN. Banyak fakta terungkap dalam laporan tersebut.
Rapat kerja dengan Meneg BUMN Dahlan Iskan, Senin (7/7), sempat diskors beberapa menit, karena ada fraksi yang menyatakan tidak setuju dengan isi laporan Panja tersebut. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VI Erik Satria Wardhana akhirnya menyerahkan laporan tersebut kepada Meneg BUMN tanpa dibacakan. F-PDI Perjuangan, F-PAN, dan F-PPP menyatakan walkout dari ruang rapat dan tidak bertanggung jawab atas pengambilan keputusan soal Merpati.
Laporan Panja Komisi VI tersebut berisi fakta dan temuan penyimpangan di internal maupun eksternal yang dilakukan manajemen PT. Merpati Nusantara Airlines. Penyimpangan internal yang terungkap, misalnya, soal pengangkatan Haryo P Surjokusumo sebagai direktur produksi dengan menggunakan titel captain penerbang. Padahal, status tersebut tidak dapat dibuktikan. Bahkan, sejak Oktober sampai kini, yang bersangkutan tidak diketahui lagi keberadaannya.
Penyimpangan lainnya soal pengangkatan direktur niaga, direktur teknik, dan direktur operasi dengan menggunakan istilah associate directors tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Koordinasi antardireksi juga dinilai lemah. Selain itu, manajemen Merpati tidak mengontrol dan tidak mengetahui secara tepat asset bernilai tinggi di Merpati.
Sementara temuan eksternal yang bermasalah adalah penyewaan mesin CFM56-3 (Boeing 737) ke pihak Trigana tanpa persetujuan dari direksi. Penyewaan hanggar ke Lion Air dengan nilai di bawah pengaturan tarif hanggar. Pesawat sekelas ATR yang terparkir per pesawat per hari menurut SKEP adalah USD 330. Sementara manajemen menyewakannya seharga Rp1.500.000. Begitu pula pesawat sekelas boeing disewakan hanggarnya Rp1.500.000. Padahal, mestinya USD 66.(mh/dpr/bhc/sya) |