JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi VI DPR RI Nasim Khan mendukung usulan pembentukan Panitia Kerja (Panja) di Komisi VI DPR RI sebagai upaya mendapatkan solusi konkret menyelamatkan PT Garuda Indonesia yang kondisinya kini di ujung tanduk. Diketahui, Garuda Indonesia saat ini menanggung utang yang mencapai 7 miliar dolar AS atau di atas Rp100 triliun.
"Kami setuju dari F-PKB, mau dibuat panja," ucap Nasim Khan dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo dan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra beserta jajaran, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (9/11).
Nasim meminta Kementerian BUMN dan manajemen Garuda Indonesia fokus mengupayakan perbaikan dan penyelamatan perusahaan itu dengan langkah yang tepat dan cepat, khususnya dalam manajemen perusahaan. Terlebih, permasalahan yang menimpa Garuda Indonesia sudah lama, dan menurutnya Kementerian BUMN tidak pernah kekurangan orang yang ahli di bidang bisnis penerbangan, penyehatan perusahaan dan hukum kontrak.
"Bagaimana pun juga Garuda Indonesia tidak bisa dilepas begitu saja, peran serta pemerintah tetap harus ada, dari F-PKB (menilai pemerintah) tidak bisa melepas begitu saja Garuda Indonesia ini," lanjut Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR RI ini.
Selain itu, Nasim juga menyinggung nasib para pekerja perusahaan yang berkode saham GIAA, di mana pelaku Usaha, Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang sudah menjalin kerja sama dengan Garuda Indonesia dan nasib pihak-pihak lainnya yang terancam. Oleh karena itu, dirinya kembali meminta Kementerian BUMN dan PT Garuda Indonesia bersungguh-sungguh dalam mengupayakan penyelamatan.
Nasim meyakini, apabila Kementerian BUMN dan manajemen Garuda Indonesia melakukannya dengan sungguh-sungguh, persoalan di perusahaan penerbangan pelat merah itu akan segera terurai dan kondisi perusahaan bisa kembali pulih dan akhirnya memberikan dampak yang baik pada pihak-pihak yang terkait dengan Garuda Indonesia. "Ini yang perlu kita perhatikan, bangsa kita, masyarakat kita, pekerja kita disini sangat banyak, dan kami mendukung bagaimana pun GI ini harus disehatkan Pak," sambung Nasim.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri (Wamen) BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyatakan pada dasarnya, Garuda Indonesia secara teknis tergolong sudah bangkrut. "Namun, kebangkrutan tersebut masih berada di skala teknis saja, belum dinyatakan secara legal, dalam istilah perbankan ini disebut technically bankrupt," urai Tiko, sapaan akrab Kartika.
Tiko menjelaskan, keuangan Garuda Indonesia saat ini memiliki ekuitas negatif sebesar 2,8 miliar dolar AS (setara dengan Rp40 triliun) pada September 2021. Berarti utang yang dimiliki Garuda Indonesia lebih besar ketimbang aset yang dimiliki perusahaan penerbangan pemerintah tersebut. Liabilitas (kewajiban utang) Garuda Indonesia mencapai 9,8 miliar dolar AS, sedangkan aset yang dimiliki hanya 6,9 miliar dolar AS.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad juga mengomentari dengan menegaskan bahwa maskapai penerbangan Garuda Indonesia harus diselamatkan dari kondisinya yang sudah di ujung tanduk. Dirinya memaparkan, Fraksi Partai Gerindra sudah menyepakati bahwasanya Garuda harus diselamatkan. Setidaknya, ada dua faktor yang melatarbelakangi maskapai kebanggaan Indonesia ini harus diselamatkan.
"Pertama semangat kelahiran Garuda Indonesia itu adalah lahir dari semangat nasionalisme rakyat Indonesia yang dimotori oleh saudagar saudagar dari Aceh menyumbangkan hartanya supaya kita bisa menerbangkan Garuda Indonesia," ujar Kamrussamad usai kunjungan kerja Komisi XI DPR RI ke Bandung, Jawa Barat, baru-baru ini.
Kedua, lanjutnya, mismanajemen yang terjadi di tubuh Garuda Indonesia itu tentu harus menjadi pelajaran. Bukan malah jadi alasan untuk menutup atau mengganti nama, bahkan identitas Airlines milik bangsa Indonesia ini sendiri yang sejatinya sebagai sebuah kebanggaan. Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk sungguh-sungguh mencari jalan keluar, supaya Garuda Indonesia tetap bisa diselamatkan dan tetap bisa terbang menjadi simbol identitas negara.
"Saya kira isu pergantian Garuda Indonesia menjadi Pelita Air itu belum sepenuhnya benar, karena memang pemerintah belum membicarakannya dengan DPR. Dan jika itu hanya sebatas wacana, saya yakin pemerintah tidak akan melakukan itu. Karena spirit Garuda Indonesia itu berbeda sekali dengan Pelita Air. Saya minta pemerintah untuk hati-hati dalam memberikan pernyataan apalagi menyangkut identitas nasionalisme kita di percaturan global melalui Airlines," paparnya.
Politisi dapil DKI Jakarta III ini mengungkapkan, beberapa alternatif solusi yang bisa diambil pemerintah untuk menyelesaikan kasus Garuda Indonesia ini. Pertama adalah renegosiasi utang yang jumlahnya mencapai Rp70 triliun - Rp100 triliun. Dengan restrukturisasi, ada penjadwalan ulang terhadap kontrak yang sudah dilakukan, yang dinilai sekarang ini sangat membebani menejemen khususnya keuangan Garuda.
Langkah berikutnya yang bisa diambil adalah mau tidak mau, Negara harus memberikan suntikan dana segar, bisa berupa PMN (Penyertaan modal Negara) kepada Garuda Indonesia supaya operasionalnya bisa terus berjalan. Dengan alternatif solusi tersebut, diharapkan pemerintah sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya dan menyelamatkan simbol negara penerbangan negara ini.
"Saya yakin, dan ini harus menjadi pertaruhan Menteri BUMN. Kalau menteri BUMN ini berhasil menyelamatkan Garuda dan rakyat Indonesia juga turut serta mengapresiasi, tentu juga kita semuanya memberikan dukungan penuh. Menteri Pertahanan saja ingin menyelamatkan Garuda, apalagi tentu kementerian yang tupoksinya berhubungan langsung dengan Garuda Indonesia Airlines itu sendiri," pungkasnya.
Sedangkan, Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina juga mendorong agar dibentuk tim khusus guna mengaudit secara komprehensif dan independen terkait permasalahan yang ada di tubuh Garuda Indonesia. Menurut Nevi, permasalahan yang membelit tubuh Garuda tampak seperti gunung es, karena masih ada potensi kasus kasus lainnya yang belum terungkap.
Saat rapat kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri BUMN Erick Thohir yang membahas restrukturisasi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Selasa, (9/11), Nevi berpandangan bahwasanya penyewaan Boeing 737 Max yang gagal dan memiliki banyak masalah pada 2014 lalu turut berkontribusi atas kondisi garuda saat ini.
"Keuangan PT Maskapai Garuda Indonesia mengalami kesulitan dengan utang menembus Rp103 triliun. Selain pandemi, penyebab kebangkrutan Garuda Indonesia adalah kontrak sewa pesawat yang gagal dalam bisnis Garuda Indonesia," ujar Nevi.
Politisi Fraksi PKS ini memaparkan, nilai sewa untuk 50 pesawat pada september 2014 tersebut terbilang mahal, yaitu mencapai lebih dari Rp42 triliun. Di sisi lain, Nevi juga mengkritisi manajemen terdahulu yang dianggap turut berperan menciptakan kondisi Garuda Indonesia seperti saat ini.
Dengan kehadiran tim khusus tersebut yang mengaudit internal Garuda, Nevi berharap mendapat kejelasan informasi secara lengkap dan akuntabel terkait permasalahan yang membelit tubuh maskapai pelat merah ini. "Mengingat BUMN yang seharusnya memberikan keuntungan kepada negara, tetapi jadinya malah merugikan negara," pungkas Nevi.(ayu/es/hal/sf/DPR/bh/sya) |