Oleh: H. Tony Rosyid
LOCKDOWN? Rasa-rasanya gak mungkin. Indonesia sepertinya gak siap. Presiden bilang: belum memikirkannya. Faktor ekonomi jadi alasan. Sekarang saja, 300 triliun digelontorkan untuk atasi rupiah yang terjun bebas. Dolar sempat tembus di atas 16.000 rupiah. Berat Kang Mas!
Lalu? Pemerintah pusat memberi himbauan: stay at home. Diem di rumah. Tapi, tetap pada keluyuran. Mahfud MD yang semula berpikir covid-19 gak sampai ke Indonesia ikut kesal lihat orang-orang keluyuran dan nongkrong di Cafe.
Gus Mus dan Aa' Gym sebar video. Beri nasehat agar stay di rumah. Tetap saja jalanan dan Cafe rame. Siapa yang kasih makan kami kalau gak kerja? Protes mereka.
Meski Anies Baswedan, gubernur DKI, tutup Spa, karaoke, diskotik dan lain-lain, tetap saja kerumunan ada dimana-mana. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi kedisiplinan kita memang rendah.
Di Itali, 793 orang mati dalam sehari. Bukannya Itali memberlakukan lockdown? Betul! Tetapi, transportasi umum masih jalan. Orang berdesak-desakan disitu. Saling menularkan dan berbagi virus.
Di Jakarta, Anies secara bertahap kurangi alat transportasi umum. Tujuannya, untuk menghindari kasus seperti di Itali. Anies dibully. Oleh otoritas tertentu diminta untuk menormalkan kembali. Anies patuh. Apa yang terjadi? Angka positif Covid-19 terus naik dan tak terbendung. Sudah 49 orang mati. Termasuk enam dokter dan satu perawat.
Apakah ini artinya pemerintah pusat sedang menerapkan sistem Herd Imunity? Membiarkan rakyat menentukan pilihannya masing-masing?
Selama ini, pemerintah setidaknya telah melakukan tiga langkah: pertama, memberikan informasi. Kedua, himbauan agar stay di rumah dan jaga jarak. Ketiga, melayani mereka yang sudah positif Covid-19.
Dalam tradisi masyarakat yang tidak disiplin, himbauan tidak akan pernah efektif. Yang muslim tetap jumatan dengan sejumlah dalil. Yang Kristen ke Gereja, Umat Budha ke Wihara dan orang-orang Hindu ke Pura. Masing-masing punya argumentasi atas nama iman.
Karyawan tetap pergi kerja, tukang cendol terus berkeliling di komplek-komplek perumahan, dan anak-anak muda masih asik nongkrong di Cafe.
Pada akhirnya, seleksi biologis menjadi penentu nasib rakyat. Yang imunnya kuat, dia hidup. Yang imunnya lemah, dia mati. Inilah yang disebut dengan Herd Imunity.
Jauh sebelum istilah Herd Imunity ini muncul, Charles Darwin sudah mengeluarkan istilah "Survival of The Fittest" dalam teori evolusinya. Siapa yang bertahan, dia yang hidup. Akan ada seleksi alam. Dan teori ini di kemudian hari diadopsi oleh Herbert Spenser, sosiolog Inggris, untuk melakukan analisis sosiologi.
Kalau Herd Imunity ini yang diterapkan dalam menghadapi covid-19, mari kita hitung risikonya.
Penduduk Indonesia 270 juta. 70 persen tertular, maka jumlah yang positif Covid-19 ada 189 juta. Kalau tiga persen yang mati, maka jumlahnya ada 5.670.000 orang. Wow! Mengerikan bukan?
Apakah 5 juta lebih yang mati itu termasuk anda, orang tua anda, istri, saudara dan teman anda? Apakah juga termasuk bos, kolega bisnis dan pacar anda? Yang pasti, sistem Herd Imunity jika diterapkan di Indonesia akan mengubah banyak sisi dari kehidupan anda.
Termasuk perubahan politik dan ekonomi? Boleh jadi, jika banyak pejabat, sejumlah cukong dan pimpinan partai masuk dalam daftar 5.600.000 orang itu.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.(tr/bh/sya)
|