JAKARTA, Berita HUKUM - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Sabtu (4/1) meminta Wakil Presiden Boediono dan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa untuk memanggil Dirut PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan dan menjelaskan kepada masyarakat berkaitan dengan adanya kenaikan harga gas elpiji 12 kg.
Melalui akun Twitternya @SBYudhoyono, Presiden SBY pada Sabtu (4/1) pagi menyatakan: "Presiden menelepon Wapres & Menko Perekonomian agar memanggil Dirut PT. Pertamina terkait kenaikan gas elpiji 12kg serta menjelaskan kepada masyarakat.
Sebelumnya Hatta meminta Dirut Pertamina Karen Agustiawan untuk tetap menjaga stok elpiji 3 kg tetap aman atau tidak langka setelah adanya kenaikan harga gas elpiji 12 kg.
“Urusan kenaikan harga elpiji 12 kg memang sudah menjadi wewenang Pertamina, sedangkan gas elpiji 3 kg yang masih disubsidi negara, tetap harus melalui persetujuan pemerintah,” kata Hatta pada seminar nasional bertajuk “Perspektif Ekonomi Digital dan Hegemoni Politik dalam Era Asan Community 2015”, Makassar, Jumat (3/1).
Hatta Rajasa mengaku sudah menelepon Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Direktur Pertamina Karen Agustiawan untuk meminta penundaan kenaikan harga elpiji 12 kg, yang dinilai kenaikan tersebut terkesan buru-buru.
Namun Jawaban yang diterima dari Dirut pertamina bahwa kenaikan gas elpiji tidak dapat ditunda lagi. Karena sudah menjadi keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS) mengenai awal Januari 2014 Gas elpiji ukuran 12 kg harus sudah naik lantaran sudah disetujui kantor BUMN dan menjadi temuan BPK.
Hatta menambahkan, dirinya sangat berharap agar pihak pertamina dapat menjaga stok elpiji 3 kg tetap aman atau tidak akan terjadi kelangkaan setelah adanya kenaikan harga gas elpiji 12 kg.
Rugi Rp 5,7 triliun
Kendati telah menaikkan harga rata-rata sebesar Rp 3.959/kg, PT Pertamina (Persero) mengaku masih "jual rugi" kepada konsumen Elpiji non subsidi kemasan 12kg sebesar Rp 2.100/kg. Bahkan jika ditotal selama setahun, Pertamina mengaku masih rugi Rp 5,7 triliun.
“Dengan konsumsi Elpiji non subsidi kemasan 12kg tahun 2013 yang mencapai 977.000 ton, di sisi lain harga pokok perolehan Elpiji rata-rata meningkat menjadi 873 dollar AS, serta nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar, maka kerugian Pertamina sepanjang tahun ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 5,7 triliun. Kerugian tersebut timbul sebagai akibat dari harga jual Elpiji non subsidi 12kg yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, di Jakarta, kemarin.
Ali menyebutkan, harga jual elpiji yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp5.850 per kg, sedangkan harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp10.785 per kg. Dengan kondisi ini maka Pertamina selama ini telah "jual rugi" dan menanggung selisihnya sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp 22 triliun dalam 6 tahun terakhir.
“Kondisi ini tentunya tidak sehat secara korporasi karena tidak mendukung Pertamina dalam menjamin keberlangsungan pasokan elpiji kepada masyarakat," jelas Ali Mundakir.
Atas dasar itu, lanjut Vice President Corporate Communication Pertamina itu, terhitung mulai 1 Januari 2014 pukul 00.00, Pertamina memberlakukan harga baru Elpiji non subsidi kemasan 12kg secara serentak di seluruh Indonesia, dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp3.959 per kg. Besaran kenaikan ditingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak SPBBE ke titik serah (supply point).
“Dengan kenaikan inipun, Pertamina masih "jual rugi" kepada konsumen Elpiji non subsidi kemasan 12 kg sebesar Rp 2.100/kg,” papar Ali.
Menurut Ali, keputusan menaikkan harga jual elpiji itu merupakan tindak lanjut atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan pada bulan Februari 2013, di mana Pertamina menanggung kerugian atas bisnis Elpiji non subsidi selama tahun 2011 - Oktober 2012 sebesar Rp7,73 triliun, yang mana ini dapat dianggap menyebabkan kerugian negara.
Selain itu, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas pasal 25, Pertamina telah melaporkan kebijakan perubahan harga ini kepada Menteri ESDM.
Dengan pola konsumsi Elpiji non subsidi kemasan 12kg di masyarakat yang umumnya dapat digunakan untuk 1 hingga 1,5 bulan, lanjut Ali, kenaikan harga tersebut akan memberikan dampak tambahan pengeluaran sampai dengan Rp. 47.000 per bulan atau Rp.1.566 per hari. Kondisi ini diyakini tidak akan banyak berpengaruh pada daya beli masyarakat mengingat konsumen Elpiji non subsidi kemasan 12kg adalah kalangan mampu.
Untuk masyarakat konsumen ekonomi lemah dan usaha mikro, Pemerintah telah menyediakan LPG 3 kg bersubsidi yang harganya lebih murah.
Terkait dengan kekhawatiran kenaikan harga Elpiji non subsidi kemasan 12kg akan memicu migrasi konsumen ke LPG 3kg, Ali mengatakan Pertamina saat ini telah mengembangkan sistem monitoring penyaluran LPG 3kg (SIMOL3K), yang diimplementasikan secara bertahap di seluruh Indonesia mulai bulan Desember 2013. Dengan adanya sistem ini, Pertamina akan dapat memonitor penyaluran LPG 3kg hingga level Pangkalan berdasarkan alokasi daerahnya.
“Namun demikian, dukungan Pemerintah tetap diharapkan melalui penerapan sistem distribusi tertutup LPG 3kg serta penerbitan ketentuan yang membatasi jenis konsumen yang berhak untuk menggunakan LPG 3 kg,” tegas Ali.(WID/hms/ptm/es/skb/hbc/sya) |