JAKARTA, Berita HUKUM - Menurut pandangan pengamat politik Muchtar Effendi Harahap, "Apa yang terjadi pada Muktamar ke-33 NU di Jombang Jawa Timur, sesungguhnya sudah terjadi juga di ormas-ormas Islam besar lain." Hal ini menunjukan fenomena 'parpolisasi' di Indonesia era reformasi, dimana peran rekruitmen parpol bukan saja ke dalam pemerintahan, namun sudah meluas ke dalam dunia usaha dan masyarakat madani.
Metode rekruitmen digunakan 'transaksional' yakni memfasilitasi dengan uang/dana dan kemudahan-kemudahan lain yang membutuhkan kapital (modal) kepada para pemilik suara dan para pengembira, agar memberikan dukungan terhadap pengambilan keputusan pemilihan pengurus ormas tersebut.
"NU menjadi sangat terbuka karena ada parpol (PKB) yang konstituennya dominan warga NU, dan sedang dalam posisi parpol berkuasa di pemerintahan," ungkap Muchtar Effendi.
"Kepentingan Parpol atas penguasaan NU tentu dalam rangka mempertahankan kekuasaan atau meningkatkan," imbuhnya lagi.
Saat Muktamar NU berlangsung di Jombang Jawa Timur, Kubu Gus Solah membeberkan, harga dukungan AHWA Rp 15-25 Juta Per PCNU. Kelompok tertentu di Muktamar menghendaki metode AHWA dalam proses pengambilan keputusan.
AHWA bermakna metode musyawarah mufakat, bukan one man one vote. Tapi, menurut Gus Solah, AHWA tidak dikenal di dalam AD/ART NU. Warga NU diperebutkan paling tidak oleh kader PKB, PPP, dan Golkar.
"Sementara itu Muhammadyah diperebutkan oleh kader PAN, PPP dan Golkar. Kader-kader parpol juga sudah terlihat ikut memperbutkan kekuasaan kekuasaan atau pengurus di Muhammadyah," tudingnya.
Kultur transaksioalisme yang sebelumnya terbebas dari ormas-ormas Islam ini, kemudian diperkenalkan dan dilembagakan oleh kader-kader parpol yang sudah terkenal atau tercemar, ketika menjadi pejabat pemerintahan, misalnya DPR/DPRD, Menteri, Gubernur/Walikota/Bupati dan juga di dalam dinamika internal parpol itu sendiri.
Di saat penyelenggaraan Kongres atau Muktamar parpol, perilaku transaksionalisme dapat ditemukan secara terbuka dalam pemilihan pengurus terutama Ketua Umum, " Fenomena parpolisasi ini memproduksi perilaku transaksionalisme dan juga koruptif, " tegasnya dengan penuh kekhawatiran.
Kultur ideologis digusur kultur transaksionalisme, AD/ART disesuaikan kepentingan kelompok transaksionalisme. Sebuah organisasi berkultur transaksionalisme pasti 'elitis' tidak berkerja sungguh-sungguh untuk mensejahterakan kebanyakan anggotanya. "Karena sumber masalah kultur transaksionalisme ini adalah parpol, maka fenomena parpolisasi di Indonesia harus diminimalkan atau harus ada upaya deparpolisasi antara lain melalui regulasi," tandasnya.(bh/mnd)
|