*Anggap Polri tangani kasus tak sesuai aturan yang berlaku
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Penanganan kasus pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan Bareskrim Polri, dianggap tidak berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Atas dasar itu, tersangka Zainal Arifin Hoesein berencana akan menemui Satgas Anti Mafia Hukum (PMH) pada Selasa (6/9) besok.
“Besok tim hukum akan mendampingi Pak Zainal menemui Satgas Anti Mafia Hukum. Pertemuan dimaksud untuk menyampaikan bukti-bukti penyimpangan pemeriksaan kasus surat palsu MK,” kata kuasa hukum Zainal, Andi Muhammad Asrun kepada wartawan di Jakarta, Senin (5/9).
Rencana pertemuan dengan Satgas PMH itu, lanjut dia, untuk menjelaskan kecurangan atau penyimpangan yang ditemukan selama gelar perkara surat palsu MK yang berujung pada ditetapkannya Zainal jadi tersangka. Kesempatan itu juga akan dipakai sebagai persiapan untuk menggelar perkara bersama Bareskrim, Kompolnas dan Satgas Anti Mafia Hukum. “Kami akan jelaskan semua kronologis peristiwanya, persis peyimpangan pemeriksaannya di mana kami jelaskan semuanya,” ujar Andi.
Zainal yang merupakan mantan Panitera MK itu ditetapkan tersangka oleh polisi karena terbukti ikut terlibat dalam mengonsep surat MK Nomor 112 tanggal 14 Agustus 2009, yang kemudian diketahui palsu. Sementara, menurut pengakuan Zainal sendiri ia tidak pernah terlibat sedikit pun dalam perencanaan apalagi pembuatan surat tersebut.
Bahkan Zainal melapor ke polisi karena tanda tangan dia sebagai panitera MK dipalsukan. “Namun, polisi tidak menindaklanjuti laporan tersebut. Ini kan aneh. Malah tiba-tiba dia ditetapkan jadi tersangka,” tandas Andi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua MK Mahfud MD berpendapat bahwa memang ada kejanggalan langkah polisi dalam penanganan kasus pemalsuan surat MK. Tapi ia masih percaya kalau penanganan kasus itu masih berproses.
"Saya lebih percaya bahwa ini sedang berproses, karena tidak masuk akal orang yang tanda tangannya dipalsukan malah jadi tersangka, sementara aktor intelektualnya dan yang menggunakan secara nyata tanda tangan palsu itu tidak diapa-apakan," tutur Mahfud.
Mahfud menuding tindakan polisi semacam itu tidak masuk akal. Namun, justru karena tidak masuk akal itu, menjadi tidak masuk akal kalau polisi tidak sedang mempersiapkan langkah besar yang lain. "Karena itu, tidak masuk akal pula kalau polisi tidak sedang mempersiapkan langkah. Saya yakin dalam waktu dekat ini polisi akan mengambl langkah yang lebih berbobot. Menurut saya, polisi baru merangkai sambungan-sambungan fakta," katanya.
Polisi, jelas dia, baru mengambil langkah-langkah awal. Dan, imbuhnya, tindakan polisi itu baru menyangkut pemalsuan surat. Padahal, ujarnya, dalam kasus itu, ada dua kasus dalam satu paket, yaitu pemalsuan surat dan penggelapan surat. "Satu pemalsuan, yaitu memalsukan isinya dan yang kedua penggelapan surat. Surat resmi yang tidak disampaikan meski sudah diterima," katanya.
Mahfud menambahkan ada dua surat MK, yang satu palsu dan satunya lagi benar. Surat yang palsu adalah tertanggal 14 Agustus 2009 Nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tentang Penetapan caleg Partai Hanura Dewi Yasin Limpo sebagai pemenang DPR RI Dapil I Sulsel. Sedangkan, surat yang benar tertanggal 17 Agustus 2009.
Kedua surat itu diserahkan ke KPU oleh komisioner MK. Padahal, Masyhuri Hasan sudah memberitahukan ke Andi Nurpati jika surat yang tertanggal 14 itu tidak benar dan yang benar ialah yang tertanggal 17," papar Mahfud.
Namun, kata Mahfud, dalam rekonstruksi, Komisioner MK yang menyerahkan surat ke KPU maupun Andi Nurpati justru membacakan surat tertanggal 14 Agustus 2009 yang palsu. Padahal, yang bersangkutan memiliki surat MK yang benar alias tertanggal 17 Agustus 2009. “Ini harusnya menjadi perhatian polisi,” tandasnya.(mic/bie/wmr)
|