JAKARTA, Berita HUKUM - Film The Act of Killing yang bercerita mengenai pembunuhan masal terhadap kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia tahun 1965, akan diputar di layar lebar pada 7 November mendatang di Denmark. Film ini diputar pada event besar di 56 kota Denmark serta di 60 bioskop di Denmark. Setelah penayangan film ini, penonton diundang untuk berpatisipasi langsung untuk menghadiri sesi tanya jawab.
Di Denmark, film The Act of Killing juga disebut dengan judul Free Men. Pemutaran film diselenggarakan dibawah Doxbio, platform dokumenter khusus yang tersebar di Denmark.
Laman resmi Doxbio menyebutkan, setelah sukses diputar di Telluride Film Festival (AS) dan Toronto International Film Festival (Kanada), film The Act of Killing telah menjangkau secara luas dan sambutan hangat atas film ini berkembang lebih besar dari yang pernah diharapkan. The Act of Killing adalah film terbaik dan paling mengerikan di Festival Film Toronto tahun ini, setiap bingkainya menakjubkan," tulis The Guardian English.
The Act of Killing (2012) disutradarai oleh Joshua Lincoln Oppenheimer. Ia merupakan sutradara Amerika yang tinggal di London. Sutradara kelahiran 23 September 1974 ini memproduksi film seri pada 2004 hingga 2008 di Indonesia.
Ia mulai menggarap film The Act of Kiling pada 2005 dan telah membuat film selama tiga tahun bersama para penyintas (survivor) pembantaian massal 1965-1966.
Film ini sempat menuai pro dan kontra bahkan protes dari Ketua Majelis Pemuda Pancasila Wilayah Sumatera Utara, Anuar Shah SE menegaskan, film The Act of Killing yang bercerita tentang pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) memojokkan Pemuda Pancasila (PP). Pasalnya, dalam film dokumenter berdurasi 115 menit yang disutradarai Joshua Lincoln Oppenheimer itu tidak mengungkap alasan mengapa pembantaian itu sampai terjadi.
"Tentunya ada alasan, kenapa pembataian tersebut terjadi. Selain mengancam keuntuhan NKRI, berapa banyak anggota PP, masyarakat, alim ulama yang menjadi korban kegananasan PKI. Hal ini tidak dimunculkan oleh Joshua. Film itu sepihak, karena dikesankan PP itu pembunuh," ujar tokoh pemuda Sumut Anuar Shah yang akrab disapa Aweng ini.
Aweng menyampaikan itu, didamping olehi sesepuh PPH, Kamaludin Lubis dan Anwar Congo, dalam konferensi pers di Kantor DPW PP Sumut, Jalan Thamrin Medan, Rabu (26/9). Masih menurut Aweng, film The Act of Killing ditayangkan secara sepotong-sepotong oleh si pembuat film dan terkesan mendiskreditkan PP, khususnya di Sumut.
"Saya tidak menjelaskan secara nasional, karena ada ketua umum yang berwenang. Tapi khusus Sumut, saya tegaskan film ini nyata-nyata telah mendiskreditkan PP, karena tidak berimbang dan menampilkan sepotong-sepotong," pungkasnya.
Film fiksi dokumenter berdurasi 115 menit ini menceritakan tentang pembantaian pada masa G 30 S/PKI, ketika pemerintah Indonesia digulingkan oleh militer pada 1965. Lebih dari satu juta orang komunis yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dibunuh dalam waktu kurang dari satu tahun.
The Act of Killing bercerita tentang para pembunuh yang menang, dan wajah masyarakat yang dibentuk oleh mereka. Ini sebagian besar gambarnya mengambil di sekitar kota Medan, Sumatera Utara antara 2005 sampai 2011. Pengambilan gambar dan wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman. Ini memerlukan banyak editor dan waktu satu setengah tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia.
Sementara pemeran Film The Act of Killing Mengaku Ditipu, Anwar Congo mengaku sangat terkejut dengan munculnya film dengan judul The Act of Killing tersebut. Ia menjelaskan, dirinya memang diajak sang sutradara pada saat membuat film, tapi berjudul Arsan dan Aminah, yang menceritakan kisah seorang anggota PP yang jatuh cinta kepada anak seorang PKI.
"Sekalipun saya belum pernah menonton film itu. Tapi yang saya tahu, dulu judulnya bukan The Act of Killing," ujar Anwar.
Meski menimbulkan polemik, Anwar mengaku tidak menyesal terlibat dalam film itu, bahkan siap menanggung akibatnya. Soalnya, ia mengakui sejarah tentang peran PP di Sumut dalam menjaga keutuhan NKRI dari rongrongan PKI dapat diketahui masyarakat luas.
"Saya merasa tertipu dan siap menanggung komitmen di belakang hari atas film ini. Saya sudah tua, kalau mau dihukum ya dihukumlah. Yang pasti, saya bangga sebagai anggota PP, dan mudah-mudahan sejarah ini dapat diketahui oleh anak-anak kita tentang keganasan PKI di daerah kita ini," jelasnya,
Ditambahkan Anwar, dirinya antusias dan menyetujui rencana pembuatan film itu karena senang film itu bercerita tentang dirinya. Apalagi, dia menjadi tokoh utama dalam film tersebut. "Saya hanya lulusan kelas 4 SD, saat ditawarkan main film, saya tertarik, bercerita spontan dan blak-blakan saja. Tapi saya tidak tahu bakal bisa seperti ini jadinya," ujar Anwar, yang mengaku dirinya syuting sekitar dua tahun, mulai 2008.
Sedangkan Werner Herzog, sutradara Jerman dan Errol Morris sutradara Amerika merasa cukup terpesona setelah melihat preview awal film The Act of Killing dan ingin menandatangani sebagai produser eksekutif.seperti di kutip C&R (wr/cnr/bhc/mbs/put) |