JAKARTA, Berita HUKUM - Aturan yang hanya mewajibkan Anggota DPR, DPD dan DPRD untuk memberitahukan kepada pimpinan ketika akan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dinilai diskriminatif oleh tiga orang pemohon perseorangan. Ketiganya pun mengajukan uji materiil Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 71/PUU-XIII/2015 tersebut digelar pada Rabu (17/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Diwakili kuasa hukumnya, Sodikin Nasrur Rahman, para pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Pasal 7 huruf s UU Pilkada. Pasal 7 huruf s UU Pilkada menyatakan “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: s. memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Menurut Sodikin, Pemohon merupakan pemegang hak pilih dan memberikan suaranya dalam mekanisme pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta turut menentukan untuk menjadikan seseorang menjadi anggota legislatif. Anggota legislatif yang terpilih merupakan pengemban mandat dan amanat dari konstituennya selama 5 (lima) tahun ke depan, namun hendak mencalonkan diri dalam Pilkada sebelum masa jabatannya berakhir. Hal ini dinilai para Pemohon telah melanggar sumpah dan janjinya ketika diangkat menjadi anggota legislatif dan bertentangan dengan konsep serta perwujudan kedaulatan berada di tangan rakyat yang diatur dalam konstitusi.
Selain itu, para Pemohon menilai jika anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut gagal terpilih, dimungkinkan akan melakukan kecurangan. Karena anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya diwajibkan untuk memberitahukan mengenai pencalonan, tidak mundur dari jabatannya.
“Ketika pasangan calon kepala daerah berlatar belakang undang-undang a quo tidak terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan balik pada jabatannya semula sangat dimungkinkan naluri dasar manusianya yang bersifat serakah akan muncul guna mengembalikan sumber daya yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah dan ini akan berimbas pada potensi penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya, antara lain pada pola-pola politik anggaran daerah atau APBD dan/atau anggaran pusat atau APBN untuk dimainkan, direkayasa, di-mark up, dikorupsi, dan sejenisnya,” papar Sodikin di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna tersebut.
Untuk itulah, dalam petitumnya Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, para pemohon menyatakan Pasal 7 huruf s UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Atau setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 7 huruf s harus dibaca mengundurkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” tandasnya.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan saran perbaikan kepada para pemohon. Palguna meminta agar para pemohon menguraikan kerugian konstitusional yang dialami, bukan hanya sekadar memaparkan hak konstitusionalnya saja.
“Jadi, bukan sekadar memaparkan apa hak konstitusional yang Anda miliki, tetapi relevansinya. Kan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi kan sudah jelas Saudara bahwa Anda mempunyai hak konstitusional yang diakui yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar bahwa hak yang dirugikan itu harus bersifat spesifik dan aktual atau terjadi atau kalau tidak aktual atau potensial itu kerugian itu akan terjadi yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Ada hubungan kausal antara itu. Itu mesti Saudara rumuskan di dalam penjelasan tentang legal standing,” terangnya.
Sementara, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta para pemohon fokus dalam memaparkan permasalahan. Hal ini karena para pemohon terpecah dalam memaparkan masalah, antara keberatan dengan tidak ada aturan mengundurkan diri bagi anggota DPR, DPD dan DPRD atau keberatan dengan ‘terpotong’-nya amanah jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD.
Oleh karena itu, Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/mk/bh/sya) |