JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang (UU) No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus) – Perkara No. 102/PUU-X/2012 – di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (21/1). Namun dalam kesempatan tersebut Pemohon Paulus Agustinus Kafiar atau kuasa hukumnya tidak hadir sehingga persidangan ditunda kembali untuk kedua kali.
“Sudah dua kali sidang tidak dihadiri oleh Pemohon,” ucap Wakil Ketua MK Achmad Sodiki saat memimpin sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon tersebut. Namun demikian, lanjut Sodiki, Majelis Hakim Konstitusi telah bermusyawarah bahwa Pemerintah dalam sidang ini cukup memberikan keterangan tertulis.
Menanggapi penjelasan dari Majelis Hakim Konstitusi, Mualimin Abdi perwakilan dari Pemerintah mengatakan bahwa pihak pemerintah sejatinya sudah menulis dan siap dibacakan dalam persidangan. Namun, prosedur administrasi dari kedua kementerian, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum dan HAM belum selesai.
“Keterangan tertulis sejatinya dibacakan sudah siap, namun prosedur administrasi menunggu penandatangan dari kedua Menteri yang mendapatkan kuasa dari Presiden,” terang Mualimin, didampingi Zidan Arief Fakhrullah selaku perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Kemudian, Sodiki menjelaskan kepada pihak pemerintah supaya prosedur administrasi tersebut bisa dilengkapi terlebih dahulu sembari menunggu sidang yang akan datang. “Nanti akan ditetapkan jadwal sidang yang akan datang, sehingga Pemohon bisa hadir. Karena sudah dua kali sidang tidak dihadiri Pemohon,” urai Sodiki jelang mengakhiri persidangan.
Pemohon dalam perkara ini mempersoalkan ketentuan “Berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara” pada Pasal 12 huruf c UU No. 21/2001 tentang Otsus Papua. Menurut Pemohon, ketentuan pasal tersebut terdapat peyimpangan dan memasung hak-hak konstitusional ketika ikut berpartisipasi dalam mewujudkan hak-hak politik.
Hal demikian disebabkan, lanjut Pemohon, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UUD 1945, telah mengatur bahwa presiden berpendidikan serendah-rendahnya adalah SLTA, atau kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur diatur dalam UU No. 32/2004, Pasal 58, berpendidikan serendah-rendahnya SLTA.
“Oleh karena itu, pasal tersebut sangat diskriminatif dan membatasi hak-hak Pemohon,” ujar Habel selaku kuasa hukum Pemohon di hadapan Majelis Hakim Konstitusi. “Ketentuan yang terdapat dalam pasal a quo tidak patut dipertahankan,” tegas Habel.
Pada petitum permohonnnya, Pemohon memohonkan kepada Mahkamah supaya Pasal 12 huruf c UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(su/mk/bhc/opn) |