JAKARTA, Berita HUKUM - Penjelasan “keadaan tertentu” yang memberikan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon perkara yang terdaftar dengan nomor 112/PUU-XIII/2015 tersebut adalah Pungki Harmoko selaku guru privat matematika.
Pungki yang maju seorang diri tanpa didampingi kuasa hukum meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar hukuman mati bagi koruptor tidak hanya didasarkan pada alasan korupsi terhadap dana kemanusiaan, yakni dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan menurut Pemohon Indonesia sudah masuk dalam keadaan darurat korupsi.
“Menurut pemohon, frasa ini hukuman mati dijatuhkan jika koruptor mengkorupsi dana-dana yang ditentukan dalam keadaan bahaya, sementara terhadap korupsi yang luar biasa tidak dapat dijatuhi hukuman mati,” kata Pungki, dalam sidang perdana yang digelar pada Selasa (29/9), di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, Pemohon juga menganggap UU PTPK tidak selaras dengan cita-cita dan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurutnya, UU PTPK juga tidak mampu mewujudkan apa yang telah dicita-citakan substansinya, sehingga merugikan secara khusus kepada Pemohon. Kerugian ini terletak pada hilangnya hak dan harapan Pemohon akan terwujudnya cita-cita berdirinya NKRI, yaitu negara yang makmur dan sejahtera. Berdasarkan alasan tersebut, Pemohon meminta agar Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian diganti dengan penjelasan Pasal yang sama dalam UU PTPK sebelumnya tahun 1999. Karena menurut Pemohon, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK tahun 1999 memungkinkan untuk memberlakukan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Terhadap permohonan tersebut Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang memimpin persidangan menilai permohonan pemohon sangat abstrak. “Semua orang bisa mengatakan kami ingin negara yang sejahtera, makmur, adil, aman dan sentosa. Tapi rumusan apa (dalam permohonan) yang terkait dengan hak saudara?” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Maria Farida kemudian memberikan nasihat agar Pemohon dapat menjelaskan adanya pertentangan konstitusional antara norma yang diuji dengan UUD 1945. Selain itu, Maria Farida juga mengingatkan Pemohon bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk mengubah norma Undang-Undang. “MK kan tidak boleh mengambil rumusan norma yang sudah tidak berlaku, MK itu bukan positive legislator. Kalau anda ingin diganti lagi (kembali ke UU) yang lama, anda mintanya bukan di sini, anda mintanya ke DPR dan pemerintah,” tutur Maria Farida.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memberikan nasihat kepada Pemohon agar memperjelas permohonan. Pemohon yang mendasarkan pengujian pada pembukaan UUD 1945 dinilai terlalu luas sehingga tidak nampak kerugian konstitusional Pemohon. “Ideal memang bagus, tapi kalau tidak punya jalur yang pas akan hampa di tengah jalan,” ujar Manahan.
Manahan mengungkapkan dapat memahami apa yang dimaksud Pemohon yang menginginkan hukuman mati bagi koruptor diperluas syarat-syaratnya tidak hanya terbatas pada korupsi terhadap dana-dana kemanusiaan. “Tapi jangan anda perintah Mahkamah Konstitusi ini di luar dari pada kewenangannya, kita bukan positive legislator, MK mungkin hanya bisa memaknai norma. Ada konstitusional bersyarat dan tidak konstitusional bersyarat,” tandas Manahan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto menilai argumentasi Pemohon masih belum jelas. “Ada sistematisasi yang harus diikuti dalam membuat permohonan pengujian Undang-Undang di MK, apa yang ada di petitum harus diulas di posita,” kata Aswanto.(Ilham WM/IR/mk/bh/sya) |