JAKARTA, Berita HUKUM - Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto R. Yasay membantah pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengaku mendapat lampu hijau dari Presiden Filipina Duterte untuk mengeksekusi terpidana mati Mary Jane Veloso. Yasay menganggap Jokowi salah mengartikan maksud pernyataan Duterte kala mereka bertemu empat mata.
"Presiden Duterte tidak memberi apa disebut 'lampu hijau' atas eksekusi Veloso namun menyatakan bahwa presiden akan menerima 'keputusan akhir' terkait kasus Mary Jane," kata kementerian luar negeri melalui situs resminya, Senin (12/9).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan dia membahas terpidana mati kasus penyelundupan narkoba, Mary Jane Veloso, saat Presiden Filipina Rodrigo Duterte berkunjung ke Indonesia pekan lalu.
Dalam pertemuan kedua kepala pemerintahan negara anggota ASEAN itu, sebagaimana dikutip dari siaran pers Istana Kepresidenan, Presiden Duterte mempersilakan Presiden Jokowi melanjutkan eksekusi Mary Jane. "Presiden Duterte saat itu menyampaikan silakan kalau memang mau dieksekusi," ujar Presiden Joko Widodo menjelaskan jawaban Duterte, Senin (12/9).
Mary Jane adalah terpidana mati kasus penyelundupan 2,6 kilogram narkotik ke Yogyakarta pada April 2010. Ia tertangkap basah saat berada di Bandara Internasional Adi Sucipto.
Sementara, Mary Jane Veloso dijadwalkan dieksekusi bersama delapan terpidana kasus narkoba di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 29 April 2015 lalu.
Namun, pada menit-menit akhir sebelum pelaksanaan, Mary Jane urung dieksekusi karena permintaan presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino, menyusul perkembangan bahwa seseorang menyerahkan diri di negara tersebut dan mengklaim Mary Jane hanya sebagai kurir narkoba.
Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, pada April 2015, memang benar "ternyata ada fakta-fakta dan indikasi bahwa Mary Jane Veloso adalah korban dari perdagangan manusia".
"Ada orang yang menyerahkan diri kepada polisi Filipina, mengaku bahwa dialah sebenarnya yang merekrut Mary Jane dengan dalih untuk dipekerjakan di Malaysia, namun tiba-tiba dialihkan ke Indonesia, mendarat di Yogya," papar Prasetyo kepada para wartawan.
Mary Jane ditangkap di Bandar Udara Adi Sutjipto, Yogyakarta, pada April 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kg heroin. Selanjutnya pada Oktober 2010 ia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta.
Pembunuhan di luar proses hukum
Selama tujuh pekan terakhir, lebih dari 1.900 orang tewas dibunuh dalam penggerebekan narkoba di Filipina
Kepala kepolisian Filipina, Ronald dela Rosa, menyebutkan jumlah kematian melonjak sejak Rodrigo Duterte menjadi presiden.
Dia mengatakan operasi pemberantasan narkoba yang dilakukan polisi menewaskan sekitar 750 orang, sementara kematian ratusan orang lainnya masih diselidiki penyebabnya.
Putri Kanesia, dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang terlibat dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penghapusan Hukuman Mati di ASEAN (CADPA), menegaskan, apa yang dilakukan Duterte merupakan bentuk pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killings).
"Bagaimana mungkin pemerintah menyetujui pembunuhan terhadap warga negaranya tanpa melalui pengadilan kendati atas nama pemberantasan narkoba," kata Putri.
Menurutnya, membunuh tanpa proses peradilan merupakan kebrutalan negara, dan merupakan tindakan pidana.
Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, sudah berlangsung tiga gelombang eksekusi hukuman mati untuk para terpidana kasus narkoba. Menurut para pegiat HAM, sebagian di antaranya merupakan korban proses peradilan yang keliru.
Salah satu terpidana mati kasus narkoba adalah warga Filipina, Mary Jane Veloso, yang diyakini sebagai korban yang diperalat sindikat internasional.(Tempo/BBC/bh/sya) |