Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Tax AMnesty
Lagi, UU Pengampunan Pajak Digugat
2016-09-02 04:17:58
 

Muchtar Pakpahan Ketua Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (Kanan) selaku pemohon prinsipal menghadiri sidang perdana pengujian Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak, Rabu (31/8) di Ruang sidang MK.(Foto Humas/Ifa)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak/Tax Amnesty) kembali diajukan untuk diuji secara materiil. Kali ini, permohonan teregistrasi Nomor 63/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).

Dalam sidang perdana, Pemohon yang diwakili oleh Basrizal selaku kuasa hukum mendalilkan Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 dan Pasal 23 ayat (2) UU Pengampunan Pajak melanggar hak konstitusional para pemohon. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan undang-undang tersebut menciderai rasa keadilan buruh sebagai pembayar pajak. Buruh dikenai tindakan ketat wajib membayar pajak yang pembayarannya dilakukan pengusaha. Selain itu, Pemerintah telah mengeluarkan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menyatakan upah dikembalikan lagi kepada rezim upah murah dengan menghilangkan hak berunding serikat pekerja/serikat buruh dan sanksi pembayar upah di bawah UMP diperingan dari pidana menjadi sanksi administrasi.

"Dari data International Labour Organization (ILO), rata-rata upah buruh Indonesia $174, lebih rendah dibanding Vietnam $181, Thailand $35, Filipina $206. Di sisi lain, dengan upah yang rendah, buruh juga harus bayar pajak PPH Pasal 21, yang kalau terlambat dibayar akan dikenai sanksi dan denda," Basrizal di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut .

Selain itu, Para Pemohon juga berpendapat bahwa UU Pengampunan Pajak mengakibatkan para pengusaha pengemplang pajak akan diampuni hukumannya baik itu administrasi maupun pidana yang jelas sehingga menciderai rasa keadilan buruh yang selama ini patuh membayar pajak. Para Pemohon juga mendalilkan UU Pengampunan Pajak tidak sesuai dengan fakta yang menunjukkan penerimaan pajak di Indonesia yang masih rendah, tidak ada jaminan setelah adanya pengampunan pajak, pengusaha di masa mendatang akan taat membayar pajak.

"Baik itu administrasi, maupun pidana yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Penegakan hukum telah dibarter dengan uang tebusan yang sangat rendah demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah menguntungkan buruh," tukasnya.

Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.

Nasihat Hakim

Majelis Hakim yang juga beranggotakan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Manahan Sitompul memberika saran perbaikan kepada para pemohon. Palguna meminta agar para pemohon memperjelas kedudukan hukum dalam permohonannya. Sebab, meski sebagai badan hukum, kerugian hukum yang dialami para Pemohon dinilai tidak jelas.

"Anda harus menjelaskan terlebih dahulu dalam kedudukan sebagai apa, dalam kualitas sebagai apa permohonan ini. Karena memang menyebutkan di sini sebagai badan hukum, tetapi yang tidak jelas kemudian adalah dalam kedudukan sebagai badan hukum itu, hak konstitusional apa yang dirugikan Anda sebagai badan hukum?" terangnya.

Selain itu, Palguna meminta agar para pemohon juga memperbaiki dalil permohonan yang menurutnya terlalu bersifat sosiologis dan tidak menggambarkan kerugian yang dialami Pemohon. "Argumentasi yang diperlukan adalah bagaimana Anda mempertajam uraian Anda bahwa pasal-pasal yang Anda uji itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Di situ argumen yang harus dibangun, itu di dalam pokok permohonan," tandasnya.

Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Tax Amnesty
 
  Rencana Pemerintah Gulirkan 'Tax Amnesty' Jilid II Bisa Cederai Rasa Keadilan
  Optimalisasi Penerimaan Pajak Pasca Tax Amnesty
  Band Marjinal Mendukung KSPI Gelar Aksi Didepan MK Saat Sidang JR UU TA
  Seminar Perlawanan, Jebakan dan Ancaman UU Tax Amnesty dan PP 78 2015
  Hasil Tax Amnesty Signifikan, Pemerintah Jangan Langsung Senang
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2