JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Hilangnya satu kursi menteri terkait reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, membuat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berang. Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencopot Menristek Suharna Surapranata, dianggap partai itu telah melanggar kontrak koalisi.
Atas dasar ini, kemungkinan besar PKS segera keluar dari koalisi. “PKS menghargai keputusan Presiden SBY. Tapi hal ini telah melanggar kontrak politik. Para kader PKS pastinya telah mengusulkan untuk keluar dari koalisi," kata Ketua DPP PKS Refrizal kepada wartawan di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/10).
Refrizal tetap ngotot bahwa ada kontrak khusus antara PKS dengan Presiden SBY. Kesepakatan ini ditandatangani SBY dan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin. Kontrak itu berisi soal jatah mpat kursi menteri bagi PKS yang berlaku hingga 2014. Namun, kontrak tersebut telah dilanggar sendiri oleh SBY.
“Komitmen koalisi pun sudah tidak ada dan tidak diperlukan. PKS tak perlu berkomitmen kepada koalisi, karena kontrak koalisi dilanggar Presiden SBY. PKS takkan masalah bila berada di luar koalisi, karena sudah pernah dilakukan, ketika era Presiden Megawati. Justru saat berada di luar pemerintahan, PKS malah lebih bagus,” jelas dia.
Keputusan Majelis Syuro PKS sendiri, kata Refrizal, kemungkinan ada dua. Pertama PKS keluar dari koalisi dan menyerahkan menteri PKS kepada Presiden SBY untuk diapakan. Atau kedua, PKS keluar dari koalisi dengan serentak menarik semua menteri PKS dari kabinet tersebut. “Saya kira itu keputusan Majelis Syuro PKS," tandas Ketua Departemen Kebijakan Publik tersebut.
Sementara Wasekjen PKS Mahfudz Siddiq mengatakan, ada pihak bermain di belakang yang menginginkan kursi menteri PKS berkurang dan keluar dari koalisi. Manuver itu dilakukan secara terencana dan matang untuk menggiring PKS keluar dari koalisi. “Kami sudah lama mencium itu,” ujarnya tanpa merinci pihak yang ditudingnya tersebut.
Mengenai pencopotan Suharna Surapranata dari posisi Menristek, lanjut dia, merupakan sebuah pelanggaran atas kontrak politik. Atas dasar ini pula Majelis Syuro PKS segera menggelar rapat menyikapi hal tersebut. "Semuanya nanti akan mengarah kepada keputusan mengenai sikap PKS untuk berada dalam koalisi atau menjadi oposisi,” tutur dia.
Dalam kesmepatan terpisah, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Jaffar Hafsah mengaku, tidak ada jalan tengah yang diberikan kepada PKS atas konsekuensi atas pengurangan jatah kursi menteri itu. "Sebenarnya, pilihannya adalah berada dalam koalisi atau tidak ada dalam koalisi. Tidak ada rumus tengahnya. Jadi, yes or no (ya atau tidak) untuk bahasa sederhananya," jelas dia.
Jika PKS berada dalam koalisi, lanjutnya, harus memegang komitmen yang sudah ditetapkan bersama. Apabila PKS tidak puas dengan keputusan Presiden SBY, mereka langsung menyampaikannya kepada SBY. Kalau PKS memilih jalannya sendiri, Partai Demokrat tidak bisa menghalangi. "Tapi sebenarnya, kami lebih senang PKS tetap bersama Demokrat,” tandasnya.(tnc/rob)
|