JAKARTA, Berita HUKUM - Larangan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (UU Ormas) bertentangan dengan sistem hukum pidana.
Demikian disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafiiyah Abdul Chair Ramadhanyang dihadirkan Pemohon sebagai Ahli dalam sidang lanjutan uji materiil pada, Kamis (22/2) lalu di Ruang Sidang Pleno MK, di Jakarta.
Dalam keterangannya, Chair menilai dalam frasa "menganut" pada Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas merugikan masyarakat karena mengadili tidak didasarkan adanya perbuatan pidana, namun juga pemikiran. Adapun terhadap multitafsir norma larangan pada Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas, Chair menilai pemerintah belum menempuh jalur hukum untuk membuktikan suatu ormas yang didirikan bertujuan mengganti atau bahkan mengubah Pancasila dan UUD 1945. "Menjadi sangat jelas, bahwa Perppu yang telah menjadi UU Ormas ini telah menghilangkan peran pengadilan dan cenderung menempatkan pemerintah melebihi kewenangannya," jabar Chair.
Chair pun menyimpulkan bahwa menurut asas, UU harus melindungi rakyat terhadap kekuasaan negara yang sewenang-wenang. Adanya jaminan pemenuhan atas asas legalitas harus dipenuhi dalam setiap rumusan UU. "Jika norma ini tetap ada dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, akan memberikan justifikasi bagi pemerintah untuk melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya dan bertentangan dengan hukum itu sendiri," terang Chair.
Belum Ada Tolok Ukur
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Zen Zanibar MZ yang juga Ahli Pemohon menyampaikan belum adanya tolok ukur terhadap keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Padahal, lanjutnya, sebagai landasan bertindak untuk menghukum terhadap ormas dan anggota harus ada UU yang merinci hal tersebut. Meskipun membuat norma hukum yang bertentangan dengan asas tersebut tidaklah lazim dalam ilmu hukum.
Zen juga menjelaskan UU Ormas belum menganut asas contrarius actus sehingga tidak efektif digunakan untuk menerapkan sanksi terhadap ormas yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tindakan hukum administrasi yang telah dijatuhkan pada sebuah ormas, tidak boleh digunakan terhadap hak dan kewajiban asasi yang melekat pada individu warga negara. Karena hak yang didasari hukum publik tersebut tidak bisa ditiadakan dengan tindakan hukum administrasi. Akan tetapi hanya dapat dikurangi atau dicabut berdasarkan proses hukum publik, yakni putusan pengadilan negeri melalui proses peradilan yang sah.
Dalam pandangan Zen, hal yang perlu dicermati dari pengesahan Perppu Ormas menjadi UU Ormas ini adalah sebuah kekeliruan. Ia melihat bahwa UU Ormas mengancam dan menindas semua organisasi kemasyarakatan tanpa kecuali.
"Padahal di negara modern ormas diberi ruang hidup subur agar dapat mengambil peran kontributif dalam urusan negara. Bahkan dibanyak negara maju, ada ribuan organisasi kemasyarakatan yang mengambil peran publik dalam rangka menguatkan negara," jelas Zen di hadapan sidang yang dipimpin Wakil MK Anwar Usman dengan didampingi Hakim Konstitusi lainnya.
Persekusi yang Merugikan
Sedangkan, Anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Farid Wadjdi dalam keterangannya selaku Saksi dari Pemohon,menyampaikan tujuan dari adanya organisasi yang telah berkembang sejak 1990 di Indonesia. Farid menjelaskan bahwa HTI adalah organisasi dakwah yang didasarkan pada niat untuk menyerukan umat Islam pada kebaikan. Namun, atas peristiwa yang dialami organisasinya tersebut telah membuat dirinya dan bahkan banyak dari anggota atau aktivis organisasi tidak dapat lagi melakukan aktivitas dakwah sebagaimana mestinya.
"Sejak dicabut izin HTI, kami tidak melakukan aktivitas dakwah secara sepenuhnya karena terjadi persekusi-persekusi terhadap aktivis akibat adanya opini negatif yang dibangun media. Yang pada akhirnya,banyak agenda ceramah yang dibawakan aktivis HTI dicoret dengan alasan izin sudah dicabut," urai Farid.
Perkara yang teregistrasi Nomor 2/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silaturahmi Antar-Pengajian Indonesia, Perkumpulan Hidayatullah, dan Munarman.
Pemohon mendalilkan UU Ormas dinilai mengancam kemerdekaan dalam berkumpul, berserikat, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hari nurani karena menghilangkan peranan pengadilan dalam menjatuhkan sanksi terhadap ormas. Untuk itu, Pemohon meminta pembatalan keberlakuan Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), dan Pasal 80A UU Ormas yang baru disahkan menjadi undang-undang pada Oktober lalu.
Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Anwar Usman menyampaikan bahwa persidangan akan dilanjutkan pada Selasa, 6 Maret pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon.(SriPujianti/LA/MK/bh/sya) |