JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang testimoni dari Pihak Terkait dan Ahli Pemerintah perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dilangsungkan pada hari Kamis (16/6) di ruang sidang pleno MK. Pihak Terkait dari PPATK, Koalisi Masyarakat Anti Pencucian Uang, dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana menghadiri sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Ahli dari Pemerintah Arief Amrullah memfokuskan keterangannya pada pasal 77 dan 78 UU TPPU. Menurutnya, tindak pidana pencucian uang memiliki karakter yang teroganisir dan bisa meluas menjadi perkara internasional, apalagi dengan fakta bahwa sistem keuangan internasional kini sudah terintegrasi. Indonesia, bagamanapun harus mau mengadopsi aturan dan standar internasional pula.
“Melihat bahwa akibatnya dapat memunculkan pembiayaan kejahatan internasional, maka penyelesaiannya tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri dan harus dilakukan melalui kerja sama internasional. Arus barang dan uang telah terorganisir sedemikian rupa dan penyebarannya telah menyebabkan bentuk kejahatan lain,” ujar Arif. “Berdasarkan karakteristik-karakteristik tersebut, penulusuran uang harus dilakukan untuk mencegah menyebarnya kejahatan lain melalui tindak pidana pencucian uang,” tambahnya.
Ia juga menyatakan bahwa penulusuran alur uang terhadap tindak pidana asal itu menjamin hak seseorang, karena meskipun tersangka gagal menjelaskan asal dari harta yang dia miliki, hal tersebut tidak serta merta akan menjadi bukti yang memberatkan tuduhan kepadanya. “Oleh karena itu, Pasal 77 dan 78 UU TPPU tidak bisa ditetapkan bertentangan dengan UUD 1945,” tukas Arief.
Sementara itu, Kokom Komariah, Ahli dari PPATK, mengatakan bahwa sebetulnya tidak perlu ada keraguan terhadap frasa “diketahui atau patut dapat diduganya” yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat 1, Pasal 69, Pasal 76 ayat 1, Pasal 77, Pasal 78 ayat 1, dan Pasal 95 UU TPPU sebagai sesuatu yang sangat sulit dilakukan atau dapat menimbulkan ketidakadilan, karena pelaku korupsi atau gratifikasi dalam kasus ini, terlebih jika pelakunya adalah pejabat tinggi negara, seharusnya mengetahui akibat dari perbuatannya. “Selain itu, pemohon tertangkap tangan dalam melakukan tindakannya di kediamannya, sehingga tidak perlu lagi ada penulusuran terhadap tindak pidana asal,” tegas Kokom.
Akil Mochtar yang bertindak sebagai pemohon dalam perkara ini adalah terpidana kasus suap Sengketa Pilkada di Kabupaten Gunung Mas bersama anggota DPR Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih dan Pengusaha Cornelis Nalau. Sedangkan untuk kasus suap Sengketa Pilkada di Kabupaten Lebak, Akil Mochtar, Pengusaha Tubagus Chaery Wiradana dan seorang Advokat Susi Turandayani. Akil tertangkap tangan menerima suap dalam penggeledahan yang dilakukan KPK pada 2 Oktober 2013.
Pihak terkait lain, Koalisi Masyarakat Anti Pencucian Uang dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, pendapatnya belum tersampaikan pada sidang dengar pendapat kali ini, sehingga dijadwalkan akan menyampaikan keterangan pada sidang berikutnya pada 28 Oktober 2014.(Winandriyo Kun/mh/mk/bhc/sya) |