JAKARTA, Berita HUKUM - Ahli Pemohon, M. Quraish Shihab hadir dalam sidang uji materi UU No. 1/1974 tentang Perkawinan - Perkara No. 74 dan 30/PUU-XII/2014 - pada Selasa (18/11) siang. Dalam persidangan, Quraish menyampaikan pendapatnya terkait batas usia seorang calon mempelai wanita.
Quraish menyampaikan, sejumlah ulama Islam melakukan revisi mengenai ketentuan batas usia calon mempelai sesuai perkembangan masyarakat. Kalau dahulu, ada ulama yang mengatakan bahwa pria boleh menikahi wanita yang belum mengalami menstruasi. “Tetapi sekarang banyak ulama yang mengatakan, perkawinan dengan seorang wanita yang belum mengalami menstruasi, hukumnya batal,” ujar Quraish.
Quraish juga menjelaskan soal batas usia calon mempelai wanita berusia 16 tahun. Dalam kitab suci Al-qur’an maupun hadist tidak disebutkan adanya ketentuan batas usia calon mempelai wanita. Namun Al-qur’an hanya menyebutkan tujuan perkawinan.
“Dalam Al-qur’an juga disebutkan bahwa mereka yang sudah mampu secara fisik dan mental maupun spiritual untuk menikah, agar melakukan pernikahan,” kata Quraish.
“Tidak tergambarkan bagaimana seorang anak perempuan berusia 16 tahun dapat bermusyawarah dengan suaminya, serta bisa menjalankan fungsinya seperti yang diharapkan Rasululllah bahwa ia bertanggung jawab terhadap rumah tangganya,” tambah Quraish.
Lulus SMA
Sidang uji materi UU Perkawinan juga dihadiri beberapa kelompok keagamaan, di antaranya dari Wali Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang diwakili oleh Sudaryanto. Pada prinsipnya, Walubi menyatakan usia ideal calon mempelai wanita adalah 18 tahun. Apabila seorang anak wanita mulai masuk sekolah di usia 6 tahun, maka sampai lulus SMA, anak itu sudah berusia 18 tahun.
Dijelaskan Sudaryanto, usia 18 tahun sudah pantas untuk berumah tangga dan pas menjadi seorang ibu. Ajaran Buddha mengajarkan kesetaraan harkat dan martabat umatnya, termasuk terhadap kaum wanita. Demi menjaga keselamatan jiwa seorang wanita, maka usia 18 tahun adalah usia ideal seorang wanita bisa menikah.
Sebagaimana diketahui, Pemohon, dalam hal ini Indry Oktaviani dkk. melakukan uji materi Pasal 7 ayat (1) UU No. 1/1974 yang menyebutkan,”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Sedangkan Pasal 7 ayat (2) UU a quo yang menyebutkan, “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”
Pemohon berdalih, batas usia anak khususnya anak perempuan dalam UU No.1/1974 secara contrario tidak memiliki kesesuaian dengan sejumlah peraturan perundang-undangan nasional di Indonesia, serta secara faktual dan aktual telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia.
Selain itu, menurut Pemohon, ketentuan pasal a quo sepanjang frasa “16 (enam belas tahun)” telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan, khususnya anak perempuan, yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, maraknya kasus pemaksaan perkawinan yang mengancam kesehatan reproduksi, serta mengancam hak anak atas pendidikan.(Nano Tresna Arfana/mk/bhc/sya) |