JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Tindakan kepolisian dalam penanganan aksi demostrasi di Pelabuhan Sape, Lambu, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (24/12) kemarin, mencerminkan arogansi aparatur negara. Mestinya sebagai pengayom masyarakat, polisi harus tetap melakukan upaya persuasif terhadap pengunjuk rasa.
Atas dasar tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus ikut bertanggung jawab memberhentikan dan mengganti Kapolri dan Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai penanggung jawab utama dalam operasi keamanan di daerah tersebut. Demikian rilis Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Indriaswati Dyah Saptaningrum yang diterima wartawan di Jakarta, Minggu (25/12).
Selain itu, lanjut dia, SBY juga harus membentuk Komite Independen untuk mengevaluasi dan mereformasi Polri. Presiden juga harus menarik dan membatalkan seluruh regulasi yang memberikan legitimasi Polri dan TNI untuk terlibat dalam konflik sumber daya alam. "Presiden SBY harus mengajukan dan menghukum para pelaku kekerasan melalui pengadilan dan juga mengkaji kembali izin operasi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam," tandas Dyah.
Ditegaskan pula, polisi telah bertindak brutal terhadap pengunjuk rasa. Bahkan, tindakan aparat sudah melampaui batas kemanusiaan. "Dalam peristiwa di Bima Sumbawa ini, aparat kepolisian ibarat benalu yang tumbuh bersama-sama dengan tumbuhan, yang akhirnya justru menggerogotinya," imbuh dia.
Menurut dia, polisi harus menyadari bahwa mereka tumbuh dan berkembang bersama-sama dari rakyat Indonesia. Tapi kemudian jadi pembunuh masyarakatnya sendiri. Mereka lupa bahwa pada akhirnya mereka akan turut terkubur juga bersama-sama dengan matinya “pohon Indonesia” yang mereka cederai dan gerogoti selama ini.
Selain melanggar HAM, ungkap Dyah, polisi juga melanggar prinsip yang dibuatnya sendiri seperti Perkap Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen, Pengamanan dan Organisasi, Perusahaan dan atau Instansi/Lembaga Pemerintah; Protap 01/2010 tentang Simulasi Penanganan Unjuk Rasa Anarkis dan Protap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Implementasi Tugas-tugas Polri. “Kapolri dan Kapolda NTB harus diganti dan diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan aksi kekerasan itu,” paparnya.
Kebrutalan polisi kembali diperlihatkan dalam tindakan membubarkan massa pengunjuk rasa yang tergabung dalam Front Reformasi Anti-Tambang (FRAT). Aparat menembaki ke arah warga untuk membubarkan dan merebut jembatan penyeberangan ferry di Pelabuhan Sape yang menghubungkan NTB ke NTT itu. Dalam peristiwa ini, beberapa warga tewas dan puluhan lainnya luka berat.(tnc/wmr)
|