JAKARTA, Berita HUKUM - DPR RI komitmen segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual usai masa reses Masa Persidangan I ini berakhir. Mengingat berbagai tindak kekerasan seksual terhadap perempuan akhir-akhir ini marak terjadi. Terbaru, Baiq Nuril, eks tenaga honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, menjadi korbannya.
"Usai masa reses berakhir dan Dewan kembali sidang 21 November, DPR bersama pemerintah akan mengebut penyelesaian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," ungkap Ketua DPR RI Bambang Soesatyo melalui rilis yang diterima Parlementaria, Senin (19/11).
Dijelaskan Bamsoet, sapaan akrabnya, pihaknya melibatkan berbagai pihak dalam pembahasan RUU tersebut, antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Komnas Perempuan, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, dan para pakar hukum pidana.
"Masukan yang diterima itu akan diformulasikan ke dalam berbagai pasal-pasal. Pelibatan organisasi keagamaan dimaksudkan agar RUU tersebut bisa kuat secara aspek moral dan agama. Dengan demikian akan memperkuat ruh dalam implementasinya di lapangan," jelas Bamsoet.
Lebih lanjut, legislator Partai Golkar itu mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan hanya akan mengatur hukum terhadap pelakunya, namun juga akan memberikan perlindungan kepada korban. Terutama juga memfokuskan kepada tindakan pencegahan (preventif).
"Jika ada anggapan DPR RI tidak serius menyelesaikan RUU ini karena sebagian besar anggota dewan adalah pria, ini salah besar. Kekerasan seksual tak hanya terjadi pada perempuan saja, kaum pria dengan maskulinitasnya juga rentan terhadap kekerasan seksual," tutur mantan Ketua Komisi III DPR RI itu.
Bamsoet berharap, dengan disahkannya RUU tersebut akan menjadi salah satu jalan keluar agar tindak kekerasan seksual bisa diproses tuntas secara hukum. Sekaligus menjadi pegangan bagi para penegak hukum agar bisa memberikan keadilan.
Diketahui, Baiq melaporkan tindakan kekerasan seksual yang diterimanya, namun ia malah didiskriminasi dengan vonis penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta, Padahal saksi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam persidangan sudah menyatakan bahwa apa yang dilakukan Baiq Nuril tidak melanggar UU ITE.
Dalam menjatuhkan vonis, hakim seperti kekurangan dasar hukum dan terkesan tak cermat lantaran tidak adanya UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi dasar utama pembelaan terhadap kaum perempuan.
"Apa yang terjadi terhadap Ibu Baiq Nuril harus dituntaskan secepatnya, karena ini bukan hanya menyangkut pribadi beliau, melainkan juga menjadi pembelaan terhadap harkat, derajat, dan martabat kaum perempuan pada umumnya," tandas Bamsoet.(rnm/sf/DPR/bh/sya) |