JAKARTA, Berita HUKUM - Pasca dibubarkannya Front Pembela Islam (FPI) pada tanggal 30 Desember 2020 oleh Pemerintah, telah disambut gegap gempita secara luas oleh Masyarakat Indonesia. Bahkan sambutan suka cita itu diiringi dengan banyaknya kiriman karangan bunga dari berbagai kalangan ke Kantor Menkopolhukam, sebagai bentuk apresiasi masyarakat ke pemerintah.
Hal ini disampaikan C. Suhadi, SH, MH sebagai Ketua Umum Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) yang menjelaskan antusiasme dan suka cita terhadap pembubaran FPI tersebut tidak hanya terjadi di Ibukota, tapi juga di beberapa daerah di Indonesia dalam bentuk karangan bunga, spanduk dan lain-lain.
"Belum juga kering kata ucapan selamat, tiba-tiba nyaring di medsos kelompok ormas yang sudah kehilangan legal standing dan dinyatakan dilarang melakukan berbagai kegiatan itu, telah menggelorakan semangat para pendukungnya, bahwa FPI dengan kepanjangannya Front Pembela Islam boleh mati, tapi kita akan mengganti dengan sebutan Front Front lainnya, yang dengan akhiran Islam. Bahkan salah satu orang yang teriak-teriak berucap, mati satu tumbuh seribu," ujar Suhadi dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (1/1).
Menurut Suhadi, teriakan-teriakan mereka dari sisi hukum dapat saja dilakukan serta menjadi pembenar, sekalipun baik secara operasional maupun perijinan oleh pemerintah secara tegas telah dilarang dan dinyatakan sebagai organ terlarang, sehingga secara de jure maupun de facto nama Front Pembela Islam telah mati sebagai organisasi massa.
"Bahwa rumusan dan bentukan dari ormas telah diatur dalam pasal 1653 KUHPerdata, selain badan hukum yang disebut perseroan, juga dikenal perkumpulan Perdata ic, Koperasi, Ormas dan lain-lain.
Selain itu dalam pasal 1665 KUHPerdata yang mengatur tanggung jawab Ormas.
Ormas selain diatur dalam pasal pasal KUHPerdata (BW) seperti telah diterangkan, ormas sebagai pengejewantahan dari BW implementasinya lahirnya, UU No. 17 Tahun 2013 yang telah diubah dengan Perpu No. 2 tahun 2017, sebagai payung hukum ormas. Dan seperti kita ketahui diterbitkannya Perpu untuk lebih menguatkan kepada Organ yang tunduk dan taat dengan UUD dan Pancasila," ulasnya.
Dari pijakan-pijakan hukum di atas, lanjut Suhadi, maka slogan mereka untuk mendirikan ormas bernama FPI dengan kepanjangan barunya Front Persatuan Islam yang sudah direlease di detik com, per 1 Januari 2021 adalah bukan hal yang mustahil akan bisa terwujud, karena pemerintah tidak punya otoritas untuk tidak menerimanya, apabila mereka benar-benar mau mendaftarkan ormas baru dengan penyebutan yang mirip, tetapi memiliki platform Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana dipersyaratkan dalam UU Keormasan.
"Perlu diketahui sewaktu Pemerintah menolak perpanjangan SKT FPI (Front Pembela Islam) karena persoalannya sepele bahwa, dalam Ad/Art FPI kala itu tidak mau mencantumkan azas Tunggal Pancasila serta UUD 45, sebagai mana yang diatur dalam pasal 1 Perpu No. 2 tahun 2017, perubahan dari UU No. 17 tahun 2013," ujar Suhadi.
Dengan bercermin dari segi aturan aturan, kata Suhadi, apabila benar orang-orang yang selama ini berafiliasi dan tergabung di Front Pembela Islam akan membentuk ormas baru yang se indentik dengan nama sebelumnya, yaitu FPI (Front Persatuan Islam) atau FPI pembaharuan dengan mencantumkan Pancasila serta UUD 45, adalah sesuatu yang perlu diwaspadai, karena tidak mustahil pencantuman Pancasila dan UUD 1945 tersebut hanya sebuah siasat, atau akal-akalan saja agar Pemerintah tidak memiliki alasan hukum untuk menolak permintaan Badan Hukum dan SKT FPI Baru tersebut sesuai UU Keormasan.
Sejauh ini, lanjutnya, Menkopolhukam dan Kabaharkam Polri hanya menyatakan, transformasi Front Pembela Islam menjadi Front Persatuan Islam atau Front Pejuang Islam, atau Front Penegak Islam dan lain-lain yang se identik, boleh-boleh saja asal tidak melakukan aktivitas yang melanggar hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat.
"Namun, mengingat Polri memiliki banyak catatan buruk yang dilakukan oleh anggota/pengurus FPI yang melanggar hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat bahkan mengancam kedaulatan negara, maka dengan kewenangannya Polri dapat melarang Ormas FPI baju baru tersebut dilarang untuk melakukan kegiatan di wilayah hukum NKRI," paparnya.
Menurut Kabaharkam, kata Suhadi, saat ini terdapat 94 laporan tentang FPI. Selain itu, ada 199 tersangka tindak pidana yang melibatkan anggota FPI. Data lain juga memperlihatkan adanya 35 anggota FPI terlibat tindak pidana terorisme. Di samping itu ada jejak digital yang memperlihatkan Imam Besar FPI M Rizieq Shihab yang menyebutkan masih banyak menyimpan senjata api, granat bahkan bahan peledak sisa-sisa kerusuhan Poso.
"Belajar dari pengalaman masa lalu dan juga fakta hukum yang dimiliki oleh pihak penegak hukum, Pemerintah perlu mengantisipasi lahirnya Ormas-ormas baru yang secara formal mencantumkan Pancasila dan UUD 45 sebagai platform organisasinya, namun patut diduga hanya sebagai bentuk akal-akalan atau topeng/kedok saja agar mendapatkan Badan Hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, serta SKT dari Kementerian Dalam Negeri," bebernya.
Untuk itu, Pemerintah harus secepatnya menerbitkan regulasi apapun bentuknya yang dapat menangkal lahirnya Ormas-ormas baru yang berbaju Pancasila namun sejatinya memiliki agenda tersembunyi yang ingin mengganti dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila. Apalagi dalam kasus FPI Baru ini yang nyata-nyata dideklarasikan oleh orang-orang yang berafiliasi dengan Front Pembela Islam yang telah dilarang, karena memiliki banyak catatan buruk yang membahayakan keamanan dan kedaulatan negara.
Regulasi tersebut misalnya, Pemerintah harus melakukan uji kelayakan kepada para Deklarator untuk memastikan mereka menerima Pancasila dan UUD 45 tidak hanya secara formal tapi yang jauh lebih penting benar-benar secara materiil.
Selain itu juga, menurut Suhadi, selagi untuk tidak memberi ruang gerak kepada Ormas-ormas yang bernafaskan agama sepanjang keberadaannya mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kalau ini tidak dilakukan, maka suka cita masyarakat Indonesia untuk hidup damai dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan menjunjung tinggi nilai-nilai Kebhinekaan hanyalah sebuah mimpi di siang bolong," tambahnya.(bh/mdb) |