*Petinggi Demokrat sudah lama minta bongkar siapa saja yang terkait kasus korupsi wisma atlet
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan UU Pemberantasan Pencucian Uang dalam perkara tersangka Muhammad Nazaruddin. Penggunaan ini dimaksudkan untuk menjerat penerima aliran dana kasus dari proyek pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI/2011. Partai Demokrat pun takkan mempermasalahkan pengunaan UU tersebut.
“Silahkan saja. Kami sudah ngomong buka saja. Sejak awal, kami sudah minta KPK untuk sungguh-sungguh mengungkap kasus ini. Tapi jangan mengungkap kasus itu karena terpaksa, atau karena ditekan orang," kata Ketua DPP Partai Demokrat Benny K Harman kepada wartawan di Jakarta, Jumat (28/10) kemarin.
Namun, Benny mengingatkan KPK untuk berani mempertanggungjawabkan sesuai hukum. Institusi pembernatasan hukum ini juga harus dapat membuktikannya. "Pakai pasal apa saja boleh. Pasal pencucian uang, atau pencucian baju, silakan saja. Pokoknya, segala alat dipakai untuk menuntaskan kasus ini," ujar dengan nada sinis.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah menyatakan bahwa tim penyidik KPK menggunakan UU Pemberantasan Pencucian Uang untuk kasus wisma atlet dengan tersangka Nazaruddin. Hal ini ditempuh, agar dapat mengungkap penerima aliran dana yang diduga diterima sejumlah elite parpol tertentu.
Tindakan ini juga ditempuh untuk melacak keberadaan dana suap senilai Rp 4,3 miliar yang diterima Nazaruddin. Penggunaan UU ini akan menjadi sejarah bagi KPK. Pasalnya, selama ini KPK belum pernah menggunakan UU Pemberantasan Pencucian Uang, karena kewenangan itu baru dimiliki KPK pada Desember 2010, setelah adanya revisi atas UU tersebut.
Tenggelamkan Demokrat
Dalam kesempatan terpisah, pakar komunikasi politik UI Effendi Gazali mengatakan, kasus korupsi Nazaruddin dipastikan bakal menenggelamkan popularitas Partai Demokrat. Bahkan, lambat laun pernyataan Nazaruddin yang liar itu akan membunuh Demokrat.
"Bahwa Nazaruddin nanti akhirnya akan membunuh Demokrat, bisa sangat benar. Dia kerap mengekspos tudingannya kepada media. Meski ditujukan kepada oknum partai, tapi getahnya akan diterima partai itu juga,” kata Effendi.
Menurut Effendi, alasan kenapa kasus Nazaruddin 'membunuh' Demokrat, disebabkan sikap partai itu dalam memberikan respon kasus tersebut, kurang meyakinkan kepada publik. Apalagi pernyataan dari elite partai itu yang cenderung formalistik.
"Jawaban normatif itu tidak bisa menjawab rasa ingin tahu publik. Bahkan, dapat diartikan menantang ketidakpercayaan publik. Apalagi dengan sikap masyarakat yang mempersepsikan Nazaruddin adalah Demokrat sebagai partai penguasa," tandas Effendi.(tnc/rob/irw)
|