JAKARTA, Berita HUKUM - Dewan Pers dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan membuat pedoman pemberitaan saksi dan korban bagi jurnalis. Saat ini dinilai masih banyak jurnalis yang belum mengetahui rambu-rambu saat akan menjadikan saksi dan korban sebagai narasumber.
"LPSK dan Dewan Pers berencana membuat nota kesepakatan untuk menyusun draf pedoman peliputan dalam rangka perlindungan saksi dan korban," kata Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, dalam diskusi soal penyusunan kode etik jurnalistik berperspektif perlindungan saksi dan korban, di Jakarta, Jumat (10/5).
Menurut Yosef, perlakuan khusus kepada narasumber yang berstatus sebagai korban dan saksi sangat penting. "Sebab jika tidak, sewaktu-waktu mereka bisa terancam akibat pemberitaan," jelas Yosef.
Yosep menambahkan, tanpa ada mekanisme peliputan yang jelas saksi dan korban akan rentan dieksploitasi, baik oleh tersangka maupun wartawan. Jika nota kesepakatan sudah selesai, Dewan Pers kemudian akan mengeluarkan pedoman yang harus dipatuhi semua jurnalis. "Jika ada yang melanggar, maka akan kami berikan teguran. Jika perlu, kami akan mengundang pemilik media," jelasnya.
Dewan Pers juga menjamin semua organisasi wartawan dan institusi pers akan mematuhinya. Di samping itu, Dewan Pers juga berharap pedoman ini juga menjadi rujukan bagi saksi dan korban saat dimintai wawancara oleh jurnalis. "Saksi maupun korban harus menjamin kebebasan mengakses informasi. Karena banyak kasus di pengadilan yang membutuhkan intervensi jurnalis," jelas dia.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan saat ini pihaknya sedang menyusun apa isi nota kesepakatan dengan Dewan Pers. "Apakah sifatnya umum atau juga menyangkut hal-hal teknis lain," jelasnya.
Selain dengan Dewan Pers, LPSK juga berencana membuat nota kesepakatan dengan Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Informasi Pusat, dan sejumlah lembaga yang berkaitan dengan pemberitaan lain. LPSK memandang adanya nota kesepakatan akan memberi jalan tengah antara menghormati kebebasan pers dan bagaimana melindungi saksi dan korban agar tetap optimal.
"Pengalaman di beberapa negara, ketika terjadi perbedaan penafsiran, pihak saksi atau korban langsung membawa ke pengadilan," jelasnya.
Abdul Haris mencontohkan ketika seorang jurnalis bernama Galela hendak memburu narasumber Onasis langsung ke kediamannya. Galela terus-menerus memencet bel rumah Onasis sehingga merasa terganggu. Kemudian Onasis menggugat Galela ke pengadilan. "Pengadilan memutuskan bahwa tindakan galela salah karena dianggap memasuki privasi seseorang. Dan dia divonis tak boleh berada 25 kaki dari Onasis dan 30 kaki dari keluarga Onasis," kata dia.
Dia berharap kejadian serupa tak terjadi di Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan sebuah pedoman agar jurnalis maupun saksi dan korban sama-sama diuntungkan. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, Idy Muzayyad menambahkan, banyak faktor yang membuat perusahaan media memiliki porsi lebih dalam memberitakan saksi dan korban. "Ideologi media, orientasi, agenda, regulasi, kode etik, kompetensi, sensor mandiri, dan sikap publik, sangat berpengaruh terhadap pemberitaan," ujar Idy.
Sejumlah saksi dan korban merasa dirugikan akibat pemberitaan media. Beberapa contoh adalah pemberitaan massif terhadap artis dan korban penculikan Arumi Bachin, saksi tragedi sampang, saksi penyerangan di Cikeusik, hingga saksi kasus daging sapi impor yang menyeret nama mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishak.(dry/ipb/bhc/rby) |