JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia kembali menggelar sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), pada Selasa (8/12/2020) lalu di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 107/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 15 badan hukum diantaranya Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Indonesia Human Right Comitte For Social Justice (IHCS).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut, Maria Wastu Pinandito selaku kuasa hukum pemohon mengatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 20 dan Pasal 22A UUD 1945 karena tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 158, Pasal 161, Pasal 162, Pasal 164 Tatib DPR 1/2020 dan Pasal 72 UU 12/2011. Menurutnya, akibat tim perumus RUU Cipta Kerja belum menyelesaikan Naskah RUU, maka tim sinkronisasi tidak bisa melakukan penyelarasan rumusan RUU yang disusun oleh tim perumus. Seharusnya naskah RUU hasil sinkronisasi tersebutlah yang kemudian akan dilaporkan kepada rapat panitia kerja untuk selanjutnya diambil keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 Tatib DPR 1/2020.
Maria mengatakan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 162 Tatib DPR 1/2020, rumusan RUU hasil dari keputusan Rapat Panitia Kerja tersebut, harus dibacakan dan disepakati setiap kata, frasa, tanda baca yang tercantum dalam pasal-pasal maupun penjelasan. Apabila rumusan RUU Cipta Kerja telah disepakati bersama secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Selanjutnya, naskah RUU tersebut akan diambil keputusan akhir pada akhir Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada Pasal 163 Tatib DPR 1/2020 dengan salah satu caranya dengan membacakan naskah rancangan undang-undang.
"Faktanya sampai dengan rapat paripurna DPR untuk menyetujui RUU Cipta Kerja, baik DPR maupun Pemerintah tidak memegang naskah RUU tersebut yang akan disetujui bersama. Masyarakat pun tidak mengetahui mana RUU yang telah disetujui bersama karena banyaknya naskah RUU Cipta Kerja yang beredar," ujar Maria.
Menurut para Pemohon, naskah RUU yang sudah disepakati bersama oleh DPR dengan Presiden tidak boleh lagi ada yang diubah bahkan disentuh. Akan tetapi, faktanya telah terjadi beberapa perubahan substansi dalam naskah RUU tersebut yang disetujui bersama antara DPR dengan Presiden.
"Naskah rapat paripurna versi 905 halaman, versi 1035 halaman dengan UU Cipta Kerja yang terdiri dari 1187 halaman, yaitu dalam Pasal 17 klaster Penataan Ruang pada Pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, hilangnya Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan perubahan substansi dalam Pasal 88A dan Pasal 154A ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," paparnya.
Untuk itu, para Pemohon menilai UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 20 dan Pasal 22A UUD 1945 karena tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf f dan huruf g, Pasal 6 ayat (1) huruf j, dan Pasal 96 UU 12/2011. UU Cipta Kerja juga bertentangan juga dengan Pasal 27, Pasal 28C Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 karena memberikan perlakuan berbeda antar-warga negara.
Lebih lanjut Maria menjelaskan, beberapa ketidakjelasan rumusan dalam UU Cipta Kerja yang tentunya tidak memberikan kepastian hukum apabila diterapkan. Seperti persoalan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 UU Cipta Kerja terkait peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Ketidakjelasan rumusan juga terdapat dalam Bab XI Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja dalam Pasal 175 poin 6 UU Cipta Kerja karena Pasal 53 ayat (5) yang merujuk ayat (3) tidak memberikan kepastian hukum dan kejelasan rumusan. Hal tersebut karena Pasal 53 ayat (3) UU Cipta Kerja tidak mengatur tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum, melainkan mengatur mengenai proses permohonan sistem eletronik.
"Sistem perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal konsep, bentuk dan karakter Omnibus Law sebagaimana dimaksud dalam UU Cipta Kerja. Konsep yang dianut oleh UU CIPTA KERJA hampir mirip dengan kodifikasi hukum, namun mengandung perbedaan yang sangat jauh, dimana kodifikasi hukum diberlakukan terhadap materi hukum yang sama atau sejenis. Adapun UU CIPTA KERJA didalamnya memuat perubahan 79 UU yang berbeda dan sebelumnya telah ada," imbuhnya.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta pembatalan keseluruhan UU Cipta Kerja dan menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil.
Nasihat Hakim
Usai mendengar penjelasan para Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan beberapa saran perbaikan untuk kesempurnaan permohonan. Saran tersebut, di antaranya meminta Pemohon untuk mengelaborasi dalil permohonan yang diajukan.
Selain itu, Wahiduddin juga meminta para Pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum secara lebih rinci. Menurut Wahiduddin, dalam kedudukan hukum apabila pemohonnya merupakan badan hukum harus diwakili pejabat atau pengurus dari badan hukum tersebut.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan bahwa masing-masing dari Pemohon harus menguraikan rujukan dari anggaran dasar mengenai pengurus yang mewakili dalam mengajukan permohonan pengujian. Kemudian, mengenai alasan permohonan, Suhartoyo meminta para pemohon untuk menyederhanakan permohonan agar semua pihak paham. Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa pengujian formil harus dilampirkan bukti agar MK dapat memeriksa langsung.(UtamiArgawati/MK/bh/sya) |