Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Tax Amnesty
Dinilai Diskriminatif, UU Pengampunan Pajak Diuji
2016-07-28 07:43:07
 

Ilustrasi. Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Jl. Merdeka Barat no 6 Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10110.(Foto: BH /mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Usai disahkan Presiden Joko Widodo pada 1 Juli 2016 lalu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak atau tax amnesty) yang menuai banyak kontroversi akhirnya diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tiga permohonan sekaligus disidangkan MK pada Rabu (27/7), yakni perkara dengan nomor registrasi 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016 dan 59/PUU-XIV/2016.

Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia dan beberapa pemohon perseorangan yang tercatat sebagai pemohon Perkara 57 mempersoalkan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 19 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2) Pasal 22 serta Pasal 23 UU Pengampunan Pajak. Sugeng Teguh Santoso selaku kuasa hukum mengungkapkan pajak memiliki makna pengertian "memaksa" seperti dalam Pasal 23A UUD 1945 yang dimaknai dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa. Akan tetapi, pengertian frasa "pengampunan" pada UU Pengampunan Pajak adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan.

Hal tersebut, menurut Pemohon, menunjukkan negara telah melakukan tindakan pembiaran atas kejahatan pajak yang telah dilakukan oleh penggelap pajak. "Pengertian pengampunan pajak dan mekanisme pengampunan pajak membuat terjadinya pergeseran pajak, yang secara filosofis memaksa, menjadi kompromis sehingga menimbulkan kerugian pendapatan negara yang berkurang," jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.

Santoso menambahkan, pemberlakuan secara eksklusif tersebut dimulai ketika peserta pengampunan pajak diberikan Tanda Terima Pernyataan dan Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang diterbitkan oleh menteri. Hal tersebut menyebabkan para peserta pengampunan pajak terhindar dari segala upaya represif perpajakan. Perlakuan khusus tersebut dinilai Pemohon akan mendorong Wajib Pajak lainnya untuk tidak taat lagi, karena sifat pajak adalah sukarela dan tidak memaksa.

Belum lagi, lanjut Santoso, adanya frasa "uang tebusan" yang semakin menimbulkan sifat diskriminasi. "Pengertian 'uang tebusan' memunculkan diskriminasi khusus antara penggelap pajak dan wajib pajak yang menyebabkan bertentangan dengan UUD 1945. Sifat ekslusif dari calon pengampun pajak dalam pasal 11 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) UU pengampunan Pajak bertentangan dengan prinsip persamaan hukum," tambahnya.

Perlakuan Khusus

Serupa dengan perkara Nomor 57, Yayasan Satu Keadilan yang tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 58 mengatakan ketentuan mengenai uang tebusan dalam UU Pengampunan Pajak merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan Pemerintah, dengan memposisikan wajib pajak yang taat dengan yang tidak taat secara berbeda. Pemerintah dinilai cenderung memberikan perlakuan khusus kepada wajib pajak yang tidak taat dalam melakukan pembayaran pajak. Selain itu, muncul eksklusivitas yang akan menyebabkan penurunan dari penerimaan negara yang sebagian besar diperoleh dari pajak.

"Penghapusan pajak untuk kalangan eksklusif sehingga menempatkan warga negara dalam posisi tidak setara. Penerimaan negara naik tapi fakta tersebut tidak berbanding lurus dengan angka kemiskinan mengalami peningkatan. Penerimaan pajak belum memiliki subsidi silang," terang Prasetyo Utomo, selaku kuasa hukum Yayasan Satu Keadilan.

Sementara itu, Leni Indrawati, dkk, selaku Pemohon perkara Nomor 59 mendalilkan pengampunan untuk konteks perpajakan menimbulkan ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif yang nyata terhadap "para pengemplang pajak" dari kewajibannya membayar pajak. Alih-alih diberi sanksi, justru "para pengemplang pajak" tersebut diampuni dan hanya membayar denda yang jumlahnya sama dengan warga lain.

Untuk itulah, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa "Penghapusan Pajak" dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 6 UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai "penghapusan pajak ialah penghapusan pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan".

Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa "tidak dapat" dalam Pasal 22 UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai "Menteri Keuangan, Pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak memiliki kekebalan hukum yang tidak dapat dituntut atau dimintai pertanggungjawaban hukum baik secara pidana maupun secara perdata".

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Aswanto tersebut memberikan saran perbaikan. Palguna meminta agar pemohon memperbaiki kedudukan hukum permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU MK. "Ada perbedaan kedudukan hukum untuk pemohon perseorangan dengan LSM. Jadi, ini harus diperbaiki. Para pengacara ini sudah tahu ya, kalau kedudukan hukum tidak jelas bisa (diputus) NO," ujarnya.

Hal serupa juga disampaikan Aswanto. Menurutnya ada pemohon perseorangan yang merupakan pelajar dan harus dijelaskan kedudukan hukumnya. "Bagaimana pemohon akan membuktikan kedudukan hukumnya sebagai pelajar yang terlanggar hak konstitusionalnya akibat UU Pengampunan Pajak? Apa dengan NPWP? Ini perlu diperhatikan," tandasnya.

Terkait perbaikan permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan waktu selama 14 hari kepada para pemohon untuk melakukan perbaikan.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Tax Amnesty
 
  Rencana Pemerintah Gulirkan 'Tax Amnesty' Jilid II Bisa Cederai Rasa Keadilan
  Optimalisasi Penerimaan Pajak Pasca Tax Amnesty
  Band Marjinal Mendukung KSPI Gelar Aksi Didepan MK Saat Sidang JR UU TA
  Seminar Perlawanan, Jebakan dan Ancaman UU Tax Amnesty dan PP 78 2015
  Hasil Tax Amnesty Signifikan, Pemerintah Jangan Langsung Senang
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2