Saham Newmont dalam Kontrak Karya tahun 1986 pada awalnya 80 % milik asing dan 20% milik Nasional yang menyebut" /> BeritaHUKUM.com
Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Nusantara    
Newmont
Diskusi Publik: Transparansi Divestasi Newmont Nusa Tenggara
2018-02-07 06:32:52
 

Tampak para pembicara saat diskusi publik berlangsung.(Foto: BH /mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Diskusi publik bertajuk "Transparansi Divestasi Newmont Nusa Tenggara" diselenggarakan oleh Institut Soekarno Hatta di bilangan Menteng, Jakarta pada, Selasa (6/2).

Saham Newmont dalam Kontrak Karya tahun 1986 pada awalnya 80 % milik asing dan 20% milik Nasional yang menyebut dalam waktu 15 tahun, wajib tambang dilaksanakan divestasi.

"Asing punya modal, negara punya tanah. Padahal itulah uang yang kita miliki, kekayaan alam milik bangsa kita," ucap Poetra Adi Soerjo sebagai analis Tambang NTB saat acara.

Kronologis divestasi saham Newmont Nusa Tenggara, pada tahun 2006 sebesar 3 persen (109 juta), lalu tahun 2007 menjadi 7 persen (232 juta), pada tahun 2008 menjadi 7 persen (426 juta) dan tahun 2009 jadi 7 persen (348 juta). Hingga totalnya kisaran 24 persen dengan nominalnya sebesar 1.165 miliar (harga yang disepakati US$ 867 juta).

Pada Maret 2008 Pemerintah Indonesia menggugat Newmont ke arbitrase Internasional karena gagal melaksanakan divestasi saham untuk penawaran tahun 2006 dan 2007.

Maret 2009, Pemerintah memenangi gugatan ke abitrase, dan Newmont diwajibkan segera melaksanakan divestasi

2009, Nusa Tenggara Barat (NTB) dapatkan sahamnya, dimana Newmont diwajibkan memberikan sahamnya. Akhir 2015 sahamnya dijual kembali oleh Daerah (NTB), dimana sewaktu divestasi mengapa NTB hanya 6 persen bagi daerah.

Saham sendiri dibayarkan melalui pinjaman, dimana 6 persen sahamnya NTB juga digadai.

Kemudian selanjutnya, sambung Poetra Adi bila menuju pada akar masalah 'penjualan', berdasar laporan keuangan PT Bumi Resources Mineral serta realisasi penerimaan deviden Pemda NTB pada PT Daerah Maju Bersaing (PT. DMB) dari kepemilikan saham di PT Newmont Nusa Tenggara hingga tahun buku 2011, didasari kenyataan bahwa Dividen yang seharusnya diterima Pemda NTB (PT DMB) adalah sebesar US$ 55.541.814.

"Namun realisasi penerimaan dividen pemda NTB (PT DMB) setelah dikurangi kewajiban hutang pada PT Multi Capital adalah US$ 7.382.422 (sebesar US$ 34 juta - US$ 26,617 juta). Disinilah dugaan kerugian negara/pemda dari pembagian dividen darinkepemilikan saham pada PT NNT hingga tahun buku 2011 adalah US$ 48.159.392 (setara dengan 436,709 miliar rupiah)," ungkap Poetra Adi.

Mestinya tanah tidak usah dbayar, wajib dilepas Newmont dan kalau bisa memaksa Newmont untuk memaksa divestasi sampai 31 %, Di dalam KK termaktub yang mewajibkan pertama Pemerintah Pusat, bila tidak maka Pemda, atau Pemprov," jelasnya lebih janjut.

Sementara, Salamudin Daeng dari Peneliti AEPI yang ikut hadir pada diskusi mengungkap bahwa dirinya merasa enggan memberikan komentar lebih jauh dan tidak ingin bicara panjang lebar, soalnya dirinya pekan lalu sempat dipanggil pihak Kepolisian Indonesia terkait tulisannya 'Rio Tinto', dimana dirinya digugat UU ITE pasal 27 dan 28.

Salamuddin menyadari dirinya mesti menghadapi persoalan hukum yang masih dalam proses pemeriksaan pihak Bareskrimsus. Dalam tulisannya itu ia menyatakan bahwa, pembelian itu tidak benar dimana partisipasing interest itu tidak benar, dimana seperti 'Kontraktor'. "Saya memilih cooling down, sambil melihat siapa yang menggugat.
Nantinya bukan saya saja yang akan kena; bisa jadi PTFI, Rio Tinto, Pemerintah dan Saya. Ada yang gak suka bisa kena gugat," papar mantan aktivis JATAM itu singkat.

"Soal divestasi Newmont ini saya serahkan ke pak Marwan Batubara saja, saran saya dibawa pada hukum saja, tidak perlu dibawa ke ranah politik," tukasnya, Selasa (6/2).

Sedangkan, Dr Effendi MS Simbolon sebagai Anggota DPR RI yang pernah sepuluh tahun di Komisi VII itu menyebutkan, disaat mengkritik semestinya dipandang bukan berarti membenci.

Dirinya menilai ada baiknya, disaat membahas dan mendiskusikan sesuatu ibaratnya kalau di zaman 'warkop' dulu, hanya lucu lucuan (banyolan) saja, ini kok sekarang malahan sudah lapor laporkan Bareskrim segala.

"Berarti negeri ini ada yang kurang baik," tegasnya, seraya merasa kini menjadi semakin sensitif.

"Negeri kita bukan membangun bangsa, namun memenangi kelompok sana dan sini saja kelihatannya," tukas Anggota DPR RI Komisi I itu.

Effendi menilai kalau disekitaran Jokowi kini banyak "penjilatnya", "Padahal apa sih salahnya? Seperti Apa salahnya kalau yang anak UI dipanggil ?" ucap Effendy, terkait peristiwa pemberian 'Kartu Kuning' oleh Ketua BEM UI Zaadit Taqwa kepada Presiden Jokowi saat Dies Natalis ke-68 di kampus UI beberapa waktu lalu.

"Nah untuk sekarang bahas transparansi Divestasi Newmont, bila ada yang perlu diklarifikasi, jangan-jangan ada kaitan dengan issue Pilkada, mungkin ada anggapan nantinya ada kelompok yang anti dengan Kepala Daerah terkait," ujarnya.

Effendy mengutarakan ada baiknya persoalan Newmont ialah mengamankan dahulu kekayaan sebesar 6 persen tadi, baru kemudian bila ada unsur pidananya monggo silahkan.

"Perdata kita amankan dahulu, baru kelarkan pidananya nanti. Apakah masih ada pencari rente disana seperti yang sempat dikatakan oleh Pak Marwan ?" cetus Effendi Simbolon.

Soalnya, ungkapnya lagi penuh pertanyaan dimana negara sedang defisit kok ada bank bank yang mampu membiayai? Soalnya, tadinya berharap ada kehadiran dari Pemerintah, jadi tidak seolah-olah kita hanya satu arah.

"Setidaknya bisa berikan input dan dorong fokus ke perdatanya, dimana kalau menurut Gubernur belum semuanya dibayarkan oleh pihak swasta, ada baiknya diselesaikan terlebih dahulu," tambah Effendi

Audit dengan tujuan tertentu, dimana masa berlakunya hanya beberapa bulan saja. Bila harus dilakukan, ada baiknya dilakukan.

Sebelumnya Marwan Batubara dari peneliti Indonesia Resources Studies (IRESS) mengucapkan dan mengutarakan kalau ia pernah sempat mengingatkan melalui konstitusi.

"Bentuklah konsorsium BUMN, jangan kerjasama daerah dengan swasta, akhirnya swasta bisa mengontrol itu," jelasnya.

"Jadi kalau sekarang ada sisa untuk bertanggungjawab mestinya mereka yang harus ganti rugi," ungkap Marwan.

Padahal, sambung Marwan, dulunya bahwa Sri Mulyani dan JK, juga tadinya berkehendak Newmont dikuasai oleh ANTAM. "Justru itulah pada tahun 2003, SBY melalui Pak Agus Martomardoyo berkehendak membeli saham."

"Namun justru DPRD menolak PemPus membeli, hingga terjadilah pertarungan 'Sengketa Kewenangan Lembaga Negara' yang berlangsung hampir setahun lebih," celetuknya.

"Dimana keputusan MK, pada 31 Juli 2012 melalui PPIP (Pusat Investasi Indonesia) kalah oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Di DPR ditolak, kemudian saling gugat di MK yang kalah saat itu pemerintah," bebernya.

Peristiwa itu, menurut Marwan malahan menjadi tontonan oleh Asing, saat terjadi sengketa.

Kemudian, melangkah pada tahun 2016, patut digaris bawahi dan tercatat 'ironi', padahal konstitusi menjabarkan barang dan milik negara mestinya diawasi oleh BUMN.

"Ini malah Pemerintahan Jokowi malah sama, mungkin ini bekas Timses yang dukung jadi Presiden, maka dibiarkan saja. Bu Rini pernah canangkan Holding BUMN tambang, jadi sesuai rancangan Holding BUMN di Indonesia, namun tidak dilaksanakan. Ada apa dengan Jokowi?" tanyanya.

"Di sini nampak ada pelanggaran pada pasal 33, jadi pantas untuk dimakzulkan, ini jelas pelanggaran konstitusi," jelas Marwan.

"Penjualan terhadap Medco dan PT Amman Mineral Internasional (AMI) sendiri sudah pelanggaran terhadap konstitusi, uang akibat adanya transaksi ini kemana larinya dan harusnya dapat dinikmati daerah," jelas Marwan Batubara Direktur Eksekutif IRESS.

"Pihak yang ambil keputusan ini, mesti dituntut pertanggungjawabannya. Ini pelanggaran, diluar pasal 33 UUD45, ada ketentuan Kontrak Karya Newmont, ada ketentuan 'special right' for Government," urainya.

"Indikasinya ada oknum yang menerima rente ini, maka KPK mesti usut !," tegasnya.

"Soal pembayaran lagi, bank Mandiri, BNI dan BRI, sementara BUMN nya membantu swasta? kenapa gak bantu BUMN sendiri?," tanyanya lagi.

Nampak berdasarkan pantauan pewarta BeritaHUKUM.com di acara, turut hadir narasumber; Marwan Batubara, Effendi Simbolon, Salamudin Daeng, Poetra Adi Soerjo, Andi Haryanto Direktur DMB dengan dimoderatori oleh Hatta Taliwang pada saat diskusi berlangsung dengan dihadiri para aktivis perwakilan NTB dan sejumlah awak media.(bh/mnd)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2