JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang gugatan ke dua yang bertujuan melindungi kebebasan pers agar wartawan dan perusahaan media tidak dikriminalisasi dalam menjalankan tugas jurnalistik berjalan hanya sebentar di ruang sidang Mudjono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (21/5) sekira pukul 13.30 wib, karena Kuasa Hukum penggugat Dolfie Rompas, SH MH mempertanyakan dua hal yang tidak dapat tunjukkan oleh pengacara tergugat sebagai wakil dari Dewan Pers.
Kuasa hukum penggugat, Dolfie Rompas mengatakan bahwa, "jadi legal standingnya itu belum lengkap. persoalannya pertama belum menunjukkan surat-surat asli yang menunjuk bahwa pemberi kuasa dia memiliki legal standing untuk mengeluarkan kuasa, menandatangani kuasa dan kedua dari pihak penggugat melakukan protes bahwa surat pleno bahwa yang menunjuk dia sebagai ketua (Adi Prasetyo) diangkat sebagai ketua dewan pers itu hanya beliau sendiri yang bertanda tangan harusnya kan yang memilih itu mereka bertanda tangan," jelas Pengacara Dolfie Rompas, pada Senin (21/5).
Menurut Rompas, hal ini pertanyaan besar terkait surat pleno Dewan Pers (DP), "Selain itu statuta Dewan Pers tidak dicantumkan bahwa Ketua Dewan Pers bisa bertindak ke dalam maupun keluar untuk kepentingan hukum, sehingga penunjukan kuasa hukum seharusnya ditanda-tangani oleh seluruh anggota Dewan Pers," tambah Rompas kepada awak media usai persidangan.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) Heintje Mandagi mengatakan bahwa dirinya menghormati kehadiran Dewan Pers, meskipun hanya dengan mengutus kuasa hukumnya. "Intinya Dewan Pers sudah beritikad baik menanggapi gugatan kita. Saya berharap Dewan Pers bisa menyadari kekeliruannya bahwa peraturan dan kebijakan yang dibuatnya sudah sangat merugikan media dan wartawan, bahkan lebih jauh lagi telah mengancam kemerdekaan pers yang notabene menjadi tugas utama Dewan Pers," tegas Heintje kepada media-media yang meliput sidang tersebut.
Lebih lanjut Heintje menambahkan, "Kami menggugat Dewan Pers untuk menghapus diskriminasi terhadap media cetak dan online, baik nasional maupun lokal yang berjumlah ribuan di seluruh Indonesia. Selain itu untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap pers yang akhir-akhir ini marak terjadi akibat rekomendasi Dewan Pers yang berkaitan dengan verifikasi media dan Uji Kompetensi Wartawan."
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum DPN PPWI, Wilson Lalengke bahwa Dewan Pers sudah melanggar konstitusi karena kebijakannya berpotensi mengkriminalisasi pers dan media. "Presiden saja, jika melanggar konstitusi dapat di-impeachment atau dilengserkan. Nah, jika Dewan Pers yang melanggar konstitusi apa sanksinnya yang harus diberikan kepada Dewan Pers? Gugatan kita untuk melindungi kemerdekaan pers bagi media cetak dan online lokal maupun nasional dari diskriminasi dan kriminalisasi adalah sangat fundamental. Oleh karena itu Komnas HAM perlu juga turun tangan dalam menyikapi permasalahn ini. Ini wajib karena yang dilanggar Dewan Pers berkaitan dengan Hak Azasi Manusia, yakni warga rakyat dan wartawan, serta pemilik media yang sudah dijamin oleh UU Pers dan UUD 1945," papar lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Sementara, sidang lanjutan ke tiga berikutnya dijadwalkan akan digelar pada Kamis, 31 Mai 2018 mendatang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jalan Bungur Besar Raya No.24, 26, 28, Kemayoran, Jakarta Pusat. Sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilayangkan Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) dan Persatuan Pewarta Wartawan Indonesia (PPWI) terhadap Dewan Pers sebelumnya pada, Rabu (9/5) lalu dimana pihak tergugat yakni Dewan Pers tidak hadir.(SEM/AK/Red/bh/sya)
|