JAKARTA, Berita HUKUM - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyoroti proses persidangan terkait kasus ASABRI, yang mengguncang ketatanegaraan.
Seperti diketahui, fakta persidangan kasus Tipikor ASABRI yang menghadirkan ahli Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI, Senin (22/11/2021) di PN Tipikor DKI Jakarta, terungkap fakta bahwa penghitungan yang dilakukan BPK terkait kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
"Jelas kasus ini mengguncang ketatanegaraan kita, nilainya sangat besar. Intinya yang harus kita desak adalah Jaksa dan Hakim harus aktif menggoreng keterangan-keterangan para terdakwa itu," ujar Margarito kepada wartawan di Jakarta, Selasa (30/11).
Pakar yang juga penulis buku Pembatasan Kekuasaan Presiden ini menjelaskan, kalau masih ada yang disembunyikan dalam kasus yang menghebohkan tersebut, akan sangat berbahaya kedepannya.
"Jadi agar diketahui dan terungkap fakta-fakta baru, sehingga dengan fakta-fakta baru itu akan diketahui apakah mereka itu sudah orang yang sebenarnya atau bukan? Atau masih ada lagi orang lain, dan orang lain itu belum diambil (jadi tersangka) sampai dengan saat ini," terang Margarito.
Dia melanjutkan, yang patut dan semestinya dilakukan para Jaksa dan Hakim dalam persidangan saat ini adalah terus menggali fakta baru jika memang terbukti ada.
"Kalau masih ada orang lain lagi maka itulah keadilan harus juga dikejar didesak, jangan-jangan mereka ini (terdakwa) juga korban, bagaimana mengembalikan kerugian kalau masih ada orang lain?" pungkas Margarito.
Sementara itu Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menerangkan tidak boleh ada tumbal dalam kasus ASABRI ini.
"Tidak boleh ada tumbal dalam kasus ini, yang terjadi, yang melakukan kesalahan harus bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum yang berlaku," tegasnya saat dihubungi, Selasa (30/11/2021).
Dalam hal proses persidangan apabila ditemukan fakta-fakta baru, "Pandangan tersebut, tentunya memiliki argumentasi hukum, tetapi semua menjadi kewenangan majelis hakim untuk menjadi bahan pertimbangkan," pungkas Suparji.
Sebagaimana diketahui BPK menghitung kerugian berdasarkan data uang yang keluar dari PT ASABRI, tanpa memperhitungkan uang tersebut berbentuk aset. Sampai saat ini kerugian yang dimaksud BPK masih berbentuk aset. Kemudian, aset tersebut masih bernilai, tetapi tidak menjadi sebagai pengurang kerugian.
Kemudian dalam fakta diungkap adanya temuan perhitungan saham (Semen Baturaja (Persero Tbk) tidak sesuai. Jadi menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) metode menurut BPK, uang yang keluar dari ASABRI dan tidak kembali sampai saat ini. Tapi untuk menghitung SMBR didasarkan pada nilai saham per 31 Desember 2019. Jadi metode penghitungan yang dilakukan oleh BPK per kerugian saham dan reksa dana dinilai tidak konsisten dan terkuak dugaan pembohongan publik, dimana kerugian negara yang disampaikan oleh BPK sebesar 22,7 triliun tidak nyata dan pasti.(bh/mdb) |