Oleh: H. Tony Rosyid
Siapa tak kenal Habib Rizieq Sihab? Orang mengenalnya dengan nama HRS. Kalangan Front Pembela Islam (FPI) memanggilnya IB. Singkatan Imam Besar.
Suka tak suka, tokoh ini telah menjadi megnet perhatian publik selama hampir empat tahun terakhir. Kemampuannya menghadirkan sekitar tujuh juta massa dalam kasus penistaan agama Ahok telah mengukir sejarah demonstrasi terbesar di Indonesia.
Tentu, tanpa mengabaikan peran tokoh-tokoh lain seperti Bachtiar Nasir, Kiyai Maksum, Kiyai Abdurrasyid Syafii yang juga ikut berperan membuat demo itu menjadi sangat besar. Selain kasus dan isunya sendiri memang punya potensi untuk menghadirkan massa dalam jumlah besar.
Sejumlah demo berikutnya, ketika HRS yang memberi komando, selalu mampu menghadirkan massa dalam jumlah besar. Tidak saja ketika HRS berada di Indonesia, tapi juga ketika HRS berada di Arab Saudi. Ini artinya, HRS telah teruji kemampuannya dalam memobilisasi massa.
Bagi pemerintah, ini berbahaya. Apalagi info yang beredar, lobi-lobi sejumlah pihak yang mengatasnamakan pemerintah selalu gagal membujuk dan bernegosiasi dengan HRS. Sebaliknya, HRS terus konsisten melakukan kritik pedas dan tajam kepada pemerintah. Bahkan setahun terakhir ini, HRS terus menerus meminta Jokowi mundur. Ngeri-ngeri sedap.
Belakangan, ada sinyal HRS mau pulang ke Indonesia. Sobri Lubis, ketua FPI, jadi juru bicara untuk menyampaikan ke publik. Bahwa pencekalan HRS oleh pemerintah Saudi sudah dibuka. Artinya, HRS bisa pulang ke Indonesia.
Kapan? Ternyata hingga saat ini HRS belum pulang. Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh, membantah kalau HRS bisa pulang. Kok beda infonya? Mana yang benar? Sobri Lubis, atau Agus Maftuh?
Dua info yang berbeda antara Sobri Lubis dan Agus Maftuh terkait dibukanya cekal terhadap HRS di Arab Saudi bisa dikompromikan. Bagaimana caranya?
Ada analisis bahwa kepulangan HRS sengaja disiapkan oleh pihak-pihak tertentu ketika istana sudah betul-betul goyang. Diduga ada kekuatan lain yang dianggap punya kemampuan mengambil alih kekuasaan jika gelombang demo Omnibus Law Ciptaker sudah tak lagi bisa dikendalikan. Dalam situasi istana terancam dan tak dapat dipertahankan, maka kehadiran HRS bisa menjadi lokomotif alternatif untuk mempersempit ruang bagi kekuatan yang mau ambil alih kekuasaan itu.
Kira-kira begini analisisnya, dari pada istana diambil kekuatan itu, mending serahin sama HRS. Pertama, HRS gak minat jadi presiden. Kedua, HRS bisa berdialog dan diajak berkompromi. Ada ruang bernegosiasi untuk menyusun pemerintahan berikutnya.
Sinyal kegentingan ini juga mulai disampaikan oleh PDIP. Melalui kadernya, yaitu Darmadi Durianto, Partai pengusung utama Jokowi ini meminta presiden segera melakukan resuflle kabinet, dan mengganti para menteri yang diduga tak loyal. Hati-hati kudeta merangkak, tegasnya.
Tuntutan PDIP ini punya dua arti. Pertama, ancaman kudeta boleh jadi memang sudah terasa di istana. Kedua, boleh jadi juga ada ketidakpuasan PDIP atas jatah kabinet selama ini.
Jika ancaman kudeta betul-betul menguat, maka plan B bisa jadi alternatif. HRS akan dipulangkan. Gak pulang sendiri? Secara politis, terlalu sederhana kalau kita menyimpulkan HRS pulang sendiri tanpa variabel politik nasional dan global.
Ini artinya bahwa HRS hanya bisa pulang jika situasi nasional memang benar-benar genting, dan istana memang benar-benar goyang. Jika situasi politik terkendali, stabilitas keamanan dalam negeri terkontrol, plan B gak akan terjadi. Dan kecil kemungkinan HRS bisa pulang.
Sebab, HRS pulang, kursi istana bisa jadi taruhan. Soal yang lain, HRS bisa kompromi. Tapi soal Jokowi, belum ada tanda-tanda HRS bisa bernegosiasi.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.(tr/bh/sya)
|