JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Indonesia kini bukan cuma negeri autopilot, melainkan negeri tanpa pilot. Pasalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata bukanlah pilot yang sebenarnya, karena selama tujuh tahun memerintah, sama sekali tidak menunjukkan kualitas seorang pemimpin yang mampu membawa Indonesia menjadi negara besar dan rakyatnya sejahtera sesuai amanat konstitusi.
Demikian mengemuka dalam diskusi bertema “Menyelamatkan Negeri Auto Pilot, Negara dalam Bahaya” di Jakarta, Selasa (31/1). Diskusi menghadirkan ahli Timur Tengah Zuhairi Misrawi, mantan anggota DPR Muhammad Misbakhun, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, dan pakar hukum pidana/pencucian uang Yenti Garnasih.
Menurut Misrawi, sebaiknya rakyat menggunakan konstitusi untuk mengkritisi pemerintahan SBY. UUD 1945 mengamanatkan negara antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Sejauh ini tidak satu pun amanat konstitusi itu dilaksanakan SBY. Soal mencerdaskan kehidupan bangsa, misalnya. Bagaimana mungkin bisa dicapai, kalau biaya pendidikan sangat mahal. Apalagi bicara soal memajukan kesejahteraan umum. Faktanya, beban hidup rakyat kian lama kian berat. Artinya dalam tujuh tahun terakhir Indonesia tidak memiliki pilot,” papar Misrawi, seperti rilis yang diterima wartawan.
Istilah negara autopilot mencuat sejak beberapa pekan silam. Ini untuk menggambarkan negara bak berjalan sendiri tanpa kontribusi pemerintah. Indikasinya rakyat dibiarkan memecahkan berbagai persoalan yang membelit mereka tanpa bantuan pemerintah. Negara juga sering absen pada saat terjadi berbagai kekerasan yang terjadi, baik yang dilakukan aparat keamanan maupun sesama warga negara.
Misrawi menambahkan, kondisi negara tanpa pilot ini ini harus diakhiri. Pembakaran komplek perkantoran kabupaten di Bima, adalah sesuatu yang menggetarkan. “Saya bayangkan, peristiwa Bima itu terjadi di Istana Negara. Soalnya kondisinya sama persis. Waktu kantor bupati dibakar massa, bupatinya tidak berada di tempat. Sama seperti Istana Negara, pada hakekatnya SBY sudah tidak ada di sana,” ujarnya.
Pendapat senada juga datang dari Misbakhun. Menurut dia, apa yang terjadi di Bima adalah sebuah pelajaran berharga sekaligus ironi bagi Jakarta. Setiap hari, di Jakarta orang meneriakkan pemberantasan korupsi, reformasi bahkan revolusi. Namun sejauh ini semua hanya sebatas ucapan belaka.
“Saya yakin amuk massa di Bima sebelumnya tidak ada prakondisi. Meski begitu, massa bisa melakukan tindakan konkret untuk menyudahi ketidakadilan yang dilakukan bupati. Sementara di Jakarta, setiap hari kita hanya sibuk berdiskusi, berteriak, dan berdemo tanpa ada sepotong pun tindakan konkret untuk menyudahi kekuasaan yang korup. Inilah ironisnya Jakarta,” tukas Misbakhun.
Mantan anggota DPR itu juga menyatakan, sejatinya syarat-syarat untuk terjadinya revolusi di Indonesia sudah lengkap. Mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lain sudah bisa disebut satu suara tentang revolusi. Tapi sayang, semua gerakan itu masih terpisah-pisah bagai ada partisi yang menghalangi. Perlu satu tokoh besar yang bisa menyatukan semua gerakan tersebut, sehingga bisa benar-benar menjadi kekuatan rakyat yang dahsyat untuk menyudahi rezim sekarang.
Sedangan pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin menyebut DPR sebagai biang keladi rusaknya elit negeri ini, khususnya di kalangan eksekutif. Selama ini DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol eksekutif. Yang terjadi, justru DPR menjadi bagian bahkan sumber masalah itu sendiri.
“Parahnya lagi, DPR juga telah dibajak para elit eksekutif. Bayangkan, 560 anggota DPR, hanya sekitar 9-10 orang saja yang mendominasi. Kemana 550 sisanya. Mereka yang sepertinya sibuk itu juga sesungguhnya sedang menjalankan perintah ketua partainya masing-masing, yang umumnya duduk di lembaga eksekutif. Jadi, DPR juga harus direvolusi,” kata Irman.(rls/rob)
|