JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dinilai sangat tepat sebagai sosok yang bisa menyelesaikan konflik di Papua. Selain memiliki pengalaman, Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) tersebut berhasil meredam konflik di Aceh dan Poso.
"Sosok JK tepat untuk membantu penyelesaian secara damai konflik di Papua. Kami juga mengunginkan Polri tetap sebagai pihak yang berwenang mengatasi kondisi keamanan Papua yang meningkat. TNI jangan dulu masuk wilayah kewenangan Polri itu,” kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/10).
Menurut dia, DPR akan menolak adanya pendekatan militer dalam penanganan situasi Papua. Legislatif takkan menyetujui opsi perang di Papua. Pasalnya, pendekatan militer tidak akan bisa menyelesiakan konflik di Papua. Pemerintah harus mengedepankan dialog seperti di Aceh.
"Persoalan GAM dan Papua berbeda. Papua belum jadi kekuatan bersenjata, pendekatannya harus kambtibnas. Kami menolak adanya pengamanan yang menggunakan senjata," tegas politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.
Jika pendekatan keamanan masih terus dilakukan, kata Mahfudz, konflik Papua menjadi isu internasional. Hal ini justru akan membahayakan pemerintahan. Kalau sampai isu tersebut merebak menjadi isu internasional, pasti akan membuka peluang kemerdekaan Papua. "Isu Papua harus dijaga jadi isu nasional, sekali jadi internasonal ada risiko yang snagat besar bagi keutuhan NKRI," jelasnya.
Mahfudz menilai, pernyataan presiden soal lebih cinta kedaulatan daripada cinta damai hanyalah sebatas mempertahankan NKRI. "Bagaimanapun NKRI itu harga mati. Presiden hanya berharap agar NKRI dapat dipertahankan," jelasnya.
Lebih lanjut diungkapkan, ada beberapa faktor yang membuat pemerintah setengah hati dalam mengatasi konflik berdarah di Papua. Faktor tersebut berkaitan erat dengan aspek sosial, kemanan, dan kesejahteraan yang belum merata di Papua. “Ini ujian nyata pemerintah yang harus berani berikap tegas tanpa ragu menanganinya secara damai," tegasnya.
Klarifikasi Surat
Dalam kesempatan terpisah, Ketua DPRD Provindi Papua John Ibo mengklarifikasi perihal surat nomor 560/2065 mengenai permintaan para anggota Dewan terhadap PT Freeport Indonesia untuk menghentikan operasinya di Papua. Hal ini terkait dengan belum adanya kesepakatan pihak manejemen dengan karyawan yang mogok kerja.
Namun, kata dia, surat itu palsu. Pasalnya, meski tertera tanda tangannya, surat itu sendiri dibuat tanpa sepengetahuannya dan menyalahi prosedur administrasi yang berlaku. ”Memang ada tanda tangan saya pada surat itu,karena yang digunakan adalah tanda tangan yang sudah di scan. Saya katakan bahwa surat itu palsu,“ tegas dia.
Ibo menjelaskan, untuk mengeluarkan surat atas nama dewan atau atas nama komisi diperlukan paraf koordinasi dan ketua komisi dan paraf seketaris dewan yang menandakan bahwa surat tersebut sudah dibaca dan dipahami. Setelah itu surat disampaikan ke ketua DPRP untuk ditandatangani, kemudian dibawa ke bagian administrasi untuk diberi nomor surat.
Diakuinya, Dewan harus mendengar semua pihak dan berdiri di tengah untuk mencari keputusan yang paling baik, sementara surat yang menjadi pemicu kerusuhan di lingkungan Freeport pada 10 oktober 2011 lalu, dibuat Ketua komisi A bersama empat orang wakil SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). ”Saya serahkan pada Polda Papua untuk melakukan penyelidikan untuk menemukan aktor intelektual di balik semua ini, untuk diproses sesuai hukum yang berlaku,“ tegas Jhon.
Sebelumnya, surat berkop DPRD tersebut ditujukan kepada pimpinan PT Freeport Indonesia, yang dalam bagian akhirnya disebutkan, jika pihak PT Freeport Indonesia tidak dapat menyelesaikan permasalahan dalam cepat, maka DPRD meminta PT Freeport Indonesia menghentikan operasi sampai tercapainya suatu kesepakatan yang final.
Dalam dua minggu terakhir tercatat delapan orang tewas akibat kekerasan di Papua. Satu orang tewas dalam demonstrasi menuntut penaikan upah karyawan PT Freeport Indonesia, tiga tewas terkait dengan acara Kongres Rakyat Papua, dan tiga lainnya tewas di wilayah Kilometer 38 dan 39 Timika. Korban terakhir adalah Kapolsek Mulia,Puncak Jaya, AKP Dominggus Oktavianus Awes yang ditembak di Bandar Udara Mulia.(inc/rob/irw)
|