JAKARTA, Berita HUKUM - Jam'iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) mendorong tes DNA (Deoxirybo Nucleic Acid) sebagai unsur Mutlak alat bukti dalam memberikan perlindungan hak perdata anak.
Ketua Umum DPP JBMI, H.Albiner Sitompul menjelaskan, sejauh ini JBMI berasumsi bahwa teknologi DNA menjadi faktor penting sebagai way out (jalan keluar) terhadap problematika kewarisan dalam hukum Islam.
"Sesuai dengan maqashid syari'ah dalam memelihara keturunan, tes DNA mutlak sebagai alat pembuktian, baik dalam penetapan nasib maupun dalam penetapan ahli waris," kata Albiner dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Tes DNA 'Mutlak' dalam melindungi hak Perdata Anak", di Kantor JBMI, Rawamangun, Jakarta, Kamis (19/12).
Berangkat dari hal itu, JBMI merekomendasikan perlunya kajian akademis secara mendalam untuk menjawab persoalan terkait tes DNA dalam pembuktian proses hukum di Indonesia.
"Ini tentunya perlu kajian dengan berbagai perspektif; perlindungan ibu dan anak, hukum Islam, praktik hukum di Indonesia, genealogi dan lainnya," ujar Albiner.
Menurut Albiner, perlu kesamaan pandangan uji publik terhadap penentuan hak perdata anak, kebijakan hukum terkait dengan semangat pembangunan hukum perdata Islam di Indonesia, dan kesamaan pandang terhadap penyelesaian sengketa waris yang terkait dengan status perdata anak berbasis Tes DNA.
Sementara Ahli Hukum Islam dari Alumni UIN Sumatera Utara, Harmaini Sitorus sebagai pembicara pertama menyebut pentingnya tes DNA dalam perspektif Usul Fiqh.
Ia mengatakan, asal usul mengapa persoalan ini penting terdapat dalam kajian hukum Islam dan masuk ranah maqosidus syariah atau maksud dan tujuan.
Harmaini menjelaskan, umumnya tujuan hukum Islam ada lima, yakni pertama, memelihara akal. Kedua, memelihara harta. Dan ketiga, memelihara jiwa, sedangkan keempat adalah memelihara Agama.
"Yang kelima jelas, tujuan dan maksud hukum Islam adalah memelihara keturunan. Nah ini makanya tes DNA menjadi mutlak penting," paparnya.
Masih soal tersebut, Praktisi Hukum James Simanjuntak SH, MH mengatakan, Tes DNA memang belum ada dalam aturan hukum Indonesia.
Sejauh ini, lanjut James, tes DNA hanya dijadikan petunjuk oleh hakim yang sifatnya diterima atau tidak tergantung hakim.
"Dalam bahasa hukumnya, tes DNA hanya alat bukti sekunder. Dan untuk meyakinkan hakim, maka siapa yang mendalilkan dengan satu alat bukti lagi dan biasanya keterangan saksi," jelas pria yang juga Alumni Universitas YARSI Jakarta ini.
James pun menyebut tes DNA sudah semestinya merupakan alat bukti yang kuat dan primer dan masuk dalam aturan hukum positif. Sebab, hal ini juga berkaitan dengan perkembangan teknologi.
"Sama dengan UU ITE, awalnya kan dokumen atau file elektronik tak diterima jadi alat bukti, tapi sekarang sudah diterima jadi alat bukti," jelasnya.
"Minimal ada dalam surat edaran MA, tes DNA mutlak dan menjadi alat bukti yang kuat dan jadi acuan hakim," lugasnya.
Acara FGD yang cukup banyak mendapat responsif dari peserta dan wartawan ini, dimoderatori oleh Syarif aI-Baihaqqi Sinaga, SH (Alumni Ull, Yogyakarta) dan ditutup oleh Sekjen JBMI H.Arif Rahmansyah Marbun.(bh/amp) |