JAKARTA, Berita HUKUM - Ada kabar miring, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sepanjang tahun 2015/2016, acap kali melancarkan penggusuran dengan paksa rakyat bawah Jakarta di 34 lokasi permukiman, yang terjadi dengan nyata penggusuran secara arogan dan sewenang-wenang.
Beberapa lokasi yang tercatat telah digusur yakni di; Pejambon, Jambul Lama, Duren Sawit, Tanjung Priok, Penjaringan, Kemayoran, bantaran Kali Karang, Jalan Inspeksi Kali Buaran, Bantaran kali Cipinang, Bantaran Kali Pinangsia, Bantaran Kali Jabaludin, kampong kandang, kali Sunter, Kolong jalan Tol Wiyoto Wiyono, Kampung Pulo, Situ Rawa Badung, Kalijodo dan terakhir Pasar Ikan luar Batang dengan total keseluruhan terdampak sekitar > 4.000 Kepala Keluarga, termasuk dampak hilangnya sumber mata pencaharian mereka.
Dalam peristiwa penggusuran ini ada 3 lokasi yang cukup mengundang keprihatinan publik, yakni Kampung Pulo, Kalijodo dan Pasar Ikan luar Batang. Karena, adanya keterlibatan angkatan perang dari negera Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penggusuran rumah warga di Jakarta belakangan ini, yang memperoleh respon dari Bambang Smit, Ketua harian DPP Partai Priboemi, karena memiliki rasa cinta mendalam pada TNI dan berkeinginan agar TNI bangkit.
Bambang Smit, ketua harian DPP Partai Priboemi menanyakan secara langsung di hadapan para Jenderal Purnawirawan TNI; yakni Jenderal (purn) Djoko Santoso, Mayjen (purn) Priyanto, dan Mayjen (purn) Bambang Soemarno. Menurut Bambang Smit cukup menjadi tanda tanya, bahwasanya TNI berada pada titik kualitas terendah sepanjang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehubungan dengan beberapa kalinya keperansertaan aparat TNI yang diakomodir oleh Pemerintah DKI Jakarta, guna ikut melakukan penggusuran bagi warga miskin yang terkena imbas 'Revitalisasi Sungai Kanal Barat-Timur', ataupun yang saat ini disorot dengan indikasi ada kaitannya mega proyek Reklamasi Teluk Jakarta.
Begitulah ungkapannya dipekan terakhir bulan April tahun 2016, di salah satu pelataran kafe Wedang 200, Jl. Fatmawati Raya, Jakarta Selatan pada, Jumat (22/4), yang memang acap kali mengadakan tukar pikiran, sharing mengenai berbagai hal mengenai perjalanan demokrasi dan Politik Indonesia di Jumat Malam Gosip Politik (Jumasip) oleh Nanik S Deyang.
Di dalam penjelasan UUD 45, dalam pasal 26 yang dikatakan, menjadi WNI adalah sebagai berikut, dalam poin pertama (1) yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan UU sebagai warga negara. Bangsa Indonesia terdiri dari Bangsa Indonesia, bangsa pendatang yang mengupayakan permohonan menjadi warga negara Indonesia.
"Jelas, jika dalam UUD 45 tersebut terdapat pemisahan antara penduduk asli (pribumi) dan penduduk bukan asli (non pribumi). Bahkan, PBB sendiri menghargai dan menetapkan pada setiap tanggal 9 Agustus diperingati sebagai hari pribumi dunia," ungkap Bambang Smit, Jumat (22/4).
Pada Alinea keempat Pembukaan UUD45 terdapat rumusan tentang tujuan negara yang meliputi, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tambah Bambang, yang mempertanyakan dan berasumsi bahwa, TNI sepantasnya melindungi sesuai amanah pembukaan UUD45 itu.
"Mengapa Pancasila hanya teksnya saja yang dijaga? Tapi maknanya hangus, apalagi UUD'45 dirubah (amandemen) tapi nomornya kacau lagi," jelas Bambang Smit, penuh kekhawatiran.
Sementara itu, Jend TNI (Purn) H. Djoko Santoso sebagai mantan Panglima TNI pun merespon dengan pandangannya bahwa, "itu satu penilaian, saya harus menerima secara jiwa besar. Introspeksi, orang lain menilai, kita berbesar hati introspeksi dan menerima. Penilaian harus menerima dengan jiwa besar. Jiwa yang besar sebagai manusia kita terima," ucapnya kepada pewarta BeritaHUKUM, di lokasi Jumasip, Jumat (22/4).
Lalu menurut Djoko Santoso, "sudah sepantasnya harus berpikir positif. Kondisinya TNI itu ada yang siswa, yang bertugas sekarang dan purnawirawan. Saya merasa bertanggungjawab, maka dari itu saya mengupayakan agar TNI segera melakukan Reposisi, Ini masalah rakyat, tidak perlu Pro-Kontra. Ada 26 keluarga di perahu, di mesjid ada seribu jiwa (korban gusuran pasar ikan). Segera saja, agar di reposisi," katanya, menanggapi terkait polemik ini.
Semua berbangsa dan bernegara, berkonstitusi, semua sudah diatur dalam konstitusi. Reposisi, karena menurut aturan dan UU TNI menghadapi rakyat, TNI itu gak bener. "Namun bertolak pada segi kemanusiaan, semestinya TNI sudah mendirikan tenda. Kemudian, Kemensos kok sejauh ini belum ada yang datang? Itu terlepas Pro-Kontra," ujarnya.
Djoko Santoso juga turut menghimbau, agar masyarakat Jakarta cermin demokrasi kedepannya, agar jangan pada Pemilukada merusak Persatuan dan Kesatuan. Kita memilih pemimpin bukan dari suku, ras. Namun dari rekam jejaknya.
Sedangkan, Mayjen (Purn) Prijanto, selaku mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang juga ikut acara Jumasip memberikan pandangan bahwa, dalam melihat itu harus dari berbagai macam aspek. "Profesionalisme dan Disiplin TNI masih bagus. Namun, dalam konteks Gusur menggusur tadi, teritorial, dalam konteks Itu memang tidak bagus. Soalnya, dalam konteks di Jakarta, untuk menggusur rakyat. Bila mengingat ada 8 wajib TNI, dimana menyatakan harus bersikap sopan santun, ramah-tamah, jangan menakuti, itu nampak tidak terpenuhi. Itu konteksnya di Jakarta," ujarnya, mempertegas pandangannya.
Prijanto melanjutkan, hingga mengucapkan, "bunyi 8 Wajib TNI itu kurang lebih sebagai berikut : 1. Bersikap ramah tamah terhadap rakyat. 2. Bersikap sopan santun terhadap rakyat. 3. Menjunjung tinggi kehormatan wanita. 4. Menjaga kehormatan diri dimuka umum. 5. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya. 6. Tidak sekali-kali merugikan rakyat. 7. Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat. 8. Menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya."
Sedangkan, selanjutnya Eki Pitung selaku salah satu ketua di Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus Betawi) menuturkan, kalau ini masih dalam taraf oknumnya. "Namun, ini menjadi sorotan, tapi ini ada oknumnya yang sengaja berperan dengan 'penguasa' yang berperan saat ini," ungkap Eki Pitung, yang ikut berpendapat.
Aktivis muda Betawi itupun menyampaikan, kalau semua berlindung pada UU. Dimana TNI berlindung dalam Undang-undang, Polisi juga berlindung dalam Undang-undang. Bahwasanya, pemimpin saat ini harus dijaga dan dikawal, semua sesuai dan menurut perintah UU.
"Instruksinya menurut saya, kondisi TNI selama ini masih oknumnya, ketika figur itu salah memerintahkan, maka akan membuat 'blunder' gitulah," jelas Eki.
"Sesungguhnya TNI dibuat, dibangun, seharusnya TNI fungsinya menjaga NKRI, stabilitas Nasional bahkan Internasional. Terhadap bangsa, semestinya tidak perlu hadir dalam peristiwa penggusuran," tegas Eki Pitung.
"Mohon untuk TNI-Polisi, baik itu perintah dari Gubernur maupun Presiden, segeralah dievaluasi. Ketika itu akhirnya menjadi benturan kepada masyarakat /rakyat. Nah, ini jangan sampai kita terjadi diadu domba. Seperti penjajahan Belanda, Jepang, jauh lagi pas jaman VOC, itu pola-pola propaganda, diadu domba dengan pribumi," jelasnya lagi, guna mengingatkan kondisi polemik ini.
"Kedepan harus benar-benar, TNI dan Polisi bahwasanya mereka adalah dari Rakyat, oleh Rakyat dan untuk Rakyat," tandasnya.(bh/mnd) |