JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi III DPR RI Syarifuddin Sudding mengatakan, Komisi III berencana memanggil Menko Polhukam Djoko Suyanto untuk membahas penanganan kasus penembakan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
"Senin besok kita (Komisi III) akan melakukan rapat internal terlebih dahulu. Baru kemudian kita akan memanggil Menko Polhukam untuk melaksanakan rapat gabungan dengan Komisi I," kata Syarifuddin saat ditemui usai sebuah acara diskusi bertajuk Kecolongan Aksi Cebongan di Warung Daun Cikini, Sabtu (6/4).
Dalam rapat itu, Syarifuddin mengatakan, Komisi III akan membahas implementasi sistem pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, isu lain yang turut dibahas adalah sejumlah persoalan terkait polemik kemelut antara TNI dan Polri seperti yang terjadi di OKU maupun penyerangan Lapas Cebongan.
"Sesegera mungkin akan kita lakukan rapat gabungan itu. Kita harap minggu depan sudah bisa dilakukan" katanya.
Sementara itu, terkait hasil investigasi yang dilakukan oleh Komisi III DPR RI di Lapas Cebongan, Sudding mengatakan, hal tersebut sesuai dengan hasil investigasi TNI AD. Dirinya membenarkan, jumlah menembak empat orang tahanan berjumlah satu orang.
"Sisanya ada yang berjaga di luar lapas, ada juga yang mengambil kamera CCTV dan server," ujarnya.
Kemudian, Syarifuddin Sudding juga meminta agar penuntasan perkara penyerangan terhadap Lapas Cebongan dapat berjalan dengan baik. Hal ini termasuk proses peradilan terhadap para pelaku, yakni 11 anggota Grup II Kopassus Kartasura, yang harus dilakukan secara terbuka. Dengan demikian, masyarakat dapat turut memantau jalannya peradilan tersebut.
"Kita percaya pada proses peradilan, maka dari itu proses harus (dilakukan) secara terbuka dan transparan," kata Sudding di Jakarta, Sabtu (6/4).
Sudding juga mengatakan, pengungkapan otak di balik penyerangan tersebut serta dugaan keterlibatan atasan para pelaku penyerangan perlu diungkap dalam sidang. Sudding juga meminta investigasi penggunaan senjata yang digunakan oleh para pelaku.
"Apakah ada unsur yang membantu atau membiarkan. Ini harus diungkap di peradilan militer," katanya.
Pengamat militer dari LIPI, Ikrar Nusa Bhakti meminta para pelaku penyerangan dijatuhi sanksi tegas. Hal itu diperlukan untuk menghindari adanya perbuatan serupa di masa depan. "Jadikan kejadian penyerangan di Sleman ini yang terakhir," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh anggota Komnas HAM Nurcholis. "Jika ada satu peristiwa yang tidak tertindak tegas, maka ini akan terulang di kemudian hari," katanya.
Selain itu, Mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus Sutiyoso mengatakan, sejak awal kejadian penembakan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, dirinya telah menduga jika pelaku penembakan terhadap empat tahanan dilakukan oleh tim khusus. Hal itu diungkapkannya dalam diskusi "Kecolongan Aksi Cebongan", di Jakarta, Sabtu (6/4).
"Waktu saya membaca berita setelah kejadian itu, saya langsung berpikir jangan-jangan dilakukan oleh tim khusus," kata Sutiyoso, seperti dikutip dari kompas.com
Ia mengatakan, dugaannya itu cukup beralasan. Sebab, menurutnya, penyerangan itu dilakukan oleh satu kelompok kecil, terlepas oleh TNI atau Polri. "Pasukan khusus itu dilatih untuk bekerja dalam tim kecil, bekerja cepat, dan seusai melakukan suatu misi segera meninggalkan tempat," paparnya.
Sutiyoso juga menduga, dalam perencanaan penyerangan lapas itu sudah ada kerja sama antara pelaku dan penjaga gudang senjata. Oleh karena itu, katanya, pelaku dapat dengan mudah menggunakan senjata itu.
Seperti diberitakan, TNI AD menyatakan para penyerang Lapas Cebongan adalah oknum Grup II Komando Pasukan Khusus Kartasura, Jawa Tengah. Penyerbuan itu diduga melibatkan 11 anggota Kopassus dengan seorang eksekutor. Mereka membawa 6 pucuk senjata api yang dibawa dari markas pelatihan di Gunung Lawu.
Penyerangan itu disebut berlatar belakang jiwa korsa yang kuat terkait pembunuhan Serka Heru Santoso di Hugo's Cafe pada 19 Maret 2013. Empat tersangka pembunuhan Santoso yang kemudian ditembak mati, yakni Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait.(dbs/bhc/opn) |