JAKARTA-Rekomendasi Komisi Yudisial (KY) mengenai adanya pelanggaran kode etik dan perilaku majelis hakim hakim yang menangani kasus Antasari Azhar, belum tentu akan ditindak lanjuti Mahkamah Agung (MA). Pasalnya, hakim dalam memutus perkara memiliki kebebasan yang dijamin dalam UU (judicial immunity).
Hal ini tersirat dari pernyataan Ketua MA Harifin A Tumpa kepada wartawan di gedung MA, Jakarta, Jumat (12/8). Namun, ia mengakui, pihaknya belum menerima salinan rekomendasi Ky tersebut. "Kami memang belum menerima rekomendasinya. Kami perlu melihat dulu alasannya apa. Kalau alasannya itu menyangkut putusan hakim, MA akan menolak. Sebab, hakim itu mempunyai judicial immunity," ujarnya.
Sebelumnya, KY dalam rekomendasinya telah menemukan ada pelanggaran kode etik oleh anggota majelis hakim yang memproses perkara Antasari di tingkat pertama, yakni Herry Swantoro, Ibnu Prasetyo, dan Nugroho Setiadji. Ketiganya adalah hakim yang memeriksa perkara Antasari di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis tidak memasukan fakta serta bukti yang meringankan Antasai dalam pertimbangannya.
Menurut Harifin, apa yang telah diputuskan hakim adalah keyakinan hakim yang dijamin dengan hak imunitas tersebut. Pengabaian bukti yang dilakukan oleh majelis hakim, sebagaimana diberitakan ada terbukti dalam pemeriksaan KY, itu merupakan proses yang menyangkut putusan hakim. "Bukti-bukti itu merupakan suatu rangkaian yang berujung pada putusan. Kalau itu sudah diputuskan hakim, maka itu bagian dari hak immunity yang berlaku secara universal," jelas Harifin.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi PKS Nasir Djamil mengatakan, sanksi nonpalu yang diberikan kepada tiga hakim itu tidak cukup. KY harus segera mengajukan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) kepada MA untuk mengusut kasus itu lebih lanjut. “MKH harus dibentuk untuk menemukan pelanggaran kode etik yang tidak bisa dianggap remeh. Ini pelajaran yang pantas didalami,” tegas dia.
Kode etik, menurut Nasir, merupakan mahkota moral para hakim. Pelanggaran itu berbahaya ketimbang pelanggaran lainnya. Apalagi, kasus yang ditangani merupakan kasus besar. Pelanggaran kode etik adalah awal dari pelanggaran lain yang memiliki dampak kepada persoalan lain. “MA harus mengantisipasi dengan mendalami para hakim tadi, jangan sampai pelanggaran itu terbukti di kemudian hari,” tandasnya.
Dihubungi terpisah, kuasa hukum Antasari Azhar, Maqdir Ismail menegaskan, rekomendasi Y takkan digunakan sebagai bukyi baru (novum) untuk disertakan dalam peninjauan kembali (PK) ke MA. Alasannya, rekomendasi tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan perkara. Untuk itu tak bisa dipakai untuk novum. “Itu sudah post-factum dan tidak terkait perkara. Putusan KY itu hanya menyangkut proses sidang. Tapi rekomendasi KY itu harus menjadi perhatian majelis PK nanti,” kata Maqdir.(mic/wmr/bie/irw)
|