JAKARTA, Berita HUKUM - Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam memilih calon anggota Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diusulkan Presiden dinilai kebablasan. Adanya kewenangan tersebut, dianggap dapat memengaruhi independensi dua lembaga hukum tersebut.
Hal tersebut diungkapkan dua orang akademisi dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta sebagai Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Zairin Harahap menilai Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Keterlibatan DPR dalam menetukan calon anggota KY dan calon anggota KPK sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal a quo sangat bertentangan dengan tujuan pembentukan KY dan KPK sebagai lembaga negara yang independen. Oleh karena itu, Pemohon menganggap pasal-pasal a quo telah menimbulkan kerugian hak konstitusionalnya Yang Mulia,” kata Zairin, saat membacakan permohonannya dalam sidang perdana dengan Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (11/3).
Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) Huruf C, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28 ayat (6): “DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden”.
Pasal 28 ayat (3) huruf c: “Panitia seleksi mempunyai tugas: menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisial sebanyak 21 (dua puluh satu) calon dengan memperhatikan komposisi anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari”.
Pasal 37 ayat (1): “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR”;
Adapun Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30 ayat (1): “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Pasal 30 ayat (10) : “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia”.
Pasal 30 ayat (11) : “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua”.
Pasal-pasal tersebut, dinilai bertentangan dengan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: “Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR”
Bahkan, dalam Pasal 71 huruf o UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dinyatakan: “DPR mempunyai tugas dan wewenang yang memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota KY”.
Dengan kata lain, kewenangan konstitusional DPR dalam rekrutmen anggota KY hanya bersifat ‘persetujuan’ bukan untuk ‘memilih’. Sehingga, frasa ‘memilih dan menetapkan’ pada Pasal 28 ayat (6) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 24B ayat (3). Pun halnya dengan frasa ‘memilih dan menetapkan’ pada Pasal 30 ayat (10) dan ayat (11) UU KPK yang bertentangan dengan UU MD3 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Lebih dalam, Pemohon juga menilai sejumlah UU yang memberi wewenang kepada DPR untuk terlibat dalam rekrutmen pejabat publik telah mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi DPR sebagai pembentuk dan pengawas pelaksanaan UU. “Keterlibatan DPR tersebut telah menjadikannya sebagai pelaksana UU. Dengan kata lain, DPR telah menjadi lembaga semi eksekutif. Apabila tidak diluruskan, maka akan mengganggu pelaksanaan prinsip check and balances,” tandasnya.
Menanggapi permohonan tersebut, majelis panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dengan anggota Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Muhammad Alim menyarankan Pemohon menegaskan kembali hak konstitusional yang dirugikan.(Lulu Hanifah/mh/mk/bhc/sya) |