JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global meragukan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas komitmennya dalam bidang pelestarian hutan Indonesia. Pasalnya, sebagian besar dari proyek percontohan pelestarian hutan itu, ternyata banyak yang gagal dan banyak mendapat protes dari masyarakat lokal.
“Janji Pemerintah untuk melakukan Restrukturisasi Kehutanan hilang begitu saja sementara status strategi nasional REDD+ belum jelas rimbanya. Apalagi bicara strategi adaptasi bagi warga di sekitar hutan,” kata anggota Koalisi asal Walhi Dedi Ratih dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (3/10).
Ia menyesalkan sikap Presiden SBY yang sempat membanggakan 40 proyek percontohan dan demonstrasi REDD+ pada forum Forest Indonesian Confrence di Jakarta pada 27 September lalu. Ternyata, temuan di lapangan telihat sebagian besar prosesnya cacat dan mengundang protes banyak pihak, khususnya masyarakat lokal.
Janji pemerintah, lanjut dia, untuk melakukan Restrukturisasi Kehutanan hilang begitu saja. sementara status strategi nasional REDD+ belum jelas rimbanya. Apalagi bicara strategi adaptasi bagi warga di sekitar hutan, semuanya tidak jelas.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 62 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis Pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) pada 6 September lalu.
Salah satu isinya adalah memungkinkan pemutihan izin perkebunan yang telah dikeluarkan pemerintah daerah pada awal era Otonomi Daerah. Ternyata, Peraturan ini tak hanya menghambat upaya penegakan hukum yang gencar didorong berbagai pihak untuk menyelamatkan hutan Indonesia, tapi juga menguntungkan pebisnis kebun Sawit skala besar.
Dikatakan Dedi, peraturan tersebut justru mendapat kecaman dari masyarakat Sipil dan Akademisi. Mereka meminta Peraturan itu dicabut, karena tidak sesuai dengan semangat Indonesia menyelamatkan hutannya. Tapi tak sampai sebulan, pada 27 September 2011, Menteri Kehutanan mencabut peraturan itu dengan menerbitkan Permenhut Nomor 64/2011.
"Pencabutan Permenhut ini patut diapresiasi, tapi perlu pula dicurigai sebagai Skandal. Sebab, Menhut sempat menyatakan bahwa Permenhut belum tuntas, tapi justru sudah keluar Agustus lalu. Tak hanya itu, pada konsideran Permenhut yang baru dinyatakan Permenhut Nomor 62/2011 bertentangan dengan beberapa Peraturan Pemerintah," katanya.
Sedangkan aktivis ICEL Hery Subagyo menyatakan, buruknya penyusunan kebijakan pada Kemenhut, seperti instansi pemerintah yang tak punya arah dan tak punya Pimpinan yang begitu mudah mengeluarkan dan mencabut kebijakan. "Celakanya kebijakan yang dikeluarkan selama ini justru membuat praktek deforestasi terus berlangsung, makin menguntungkan para pebisnis dan makin menjauhi kebutuhan rakyat yang semakin rentan akibat berubahnya iklim," imbuhnya.
Hery mengatakan hal itu terbukti dengan membiarkan berbagai pelanggaran terhadap perizinan, menigkatnya Konflik Sosial, Deforestasi dan Degradasi Hutan baik oleh Industri Kehutanan, Perkebunan Sawit maupun Pertambangan.
Koalisi juga melihat temuan dari KPK dan BPK, tidak dijadikan indikasi penegakan hukum dan hampir semuanya berhenti di tengah jalan. “Pemerintah melalui Menhut harus segera mengkaji kebijakan terhadap seluruh izin yang telah diterbitkan di kawasan hutan dalam rangka perbaikan tata kelola hutan Indonesia,” tandas Herry.(tnc/biz)
|