Oleh: Yeni Handayani, S.H.,M.H.
PADA BULAN Januari 2015 lalu, dua pria bersenjata membantai 12 orang di kantor majalah satire Perancis, Charlie Hebdo. Kedua pelaku mengaku balas dendam atas ulah majalah itu yang berkali-kali menerbitkan kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW. Dalam aksinya, dua pria pemberani yang bersenjata itu juga membawa bahan peledak melaju dan menembaki Curtis Culwell Centre, lokasi lomba menggambar karikatur Nabi Muhammad. Lomba itu diadakan oleh American Freedom Defence Initiative (AFDI) yang berbasis di New York.
(http://panjimas.com/news/2015/05/05/inilah-2-sosok-pemberani-penyerang-lomba-karikatur-nabi-di-texas/diakses pada tanggal 19 Mei 2015, pukul 09.10 WIB).
Baku tembak antara dua pria misterius dengan Polisi meletup saat digelar kontes kartun Nabi Muhammad SAW di Garland, Texas, Amerika Serikat, Minggu (3/5). Insiden itu kemudian menewaskan kedua pria misterius tersebut.
Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 19.00 waktu setempat.
Kontes kartun Nabi Muhammad SAW ditengarai menjadi pemicu penyerangan yang dilakukan dua orang misterius tersebut. Acara yang bertajuk “Muhammad Art Exhibit and Contest” yang digagas oleh organisasi American Freedom Defense Initiative (AFDI) itu menjadikan Nabi junjungan umat muslim sebagai objek perlombaan gambarnya. Acara itu diselenggarakan di Curtis Culwell Center. Kelompok Inisiatif Pertahanan Kebebasan Amerika (AFDI), yang menawarkan hadiah 10 ribu dolar (Rp 130 juta) dan 2.500 dolar (Rp 32,5 juta) untuk anugerah pilihan bagi pemenang lomba karikatur Nabi Muhammad.
Karikatur tersebut dinilainya sebagai sesuatu yang sejalan dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers yang tidak dapat dilarang. Sikap dan tindakan mereka yang menggambarkan Muhammad dalam bentuk kartun, karikatur dan bentuk lainnya, dianggap telah melukai hati dan perasaan umat Islam. (https://www.islampos.com/jaga-kontes-kartun-nabi-muhammad-pasukan-swat-tewaskan-2-orang-181419/diakses pada tanggal 19 Mei 2015, pukul 09.00 WIB).
Berkenaan dengan gambar kartun dan karikatur Nabi Muhammad SAW yang mendasarkan pada kebebasan berekspresi dan berpendapat, dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.
Memang dari pasal tersebut terlihat bahwa kebebasan setiap orang adalah mutlak tanpa batas, namun dalam menjalankan hak dan kebebasan seseorang dibatasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) DUHAM yang berbunyi “di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat amoral, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam rangka masyarakat yang demokratis”.
Artinya bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat seseorang bukan tanpa batas karena kebebasan harus memperhatikan dan dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain serta ketertiban umum. Gambar kartun dan karikatur Nabi Muhammad SAW tentu saja menimbulkan reaksi keras dari umat muslim di seluruh dunia, karena hal tersebut merupakan suatu penghinaan dan penistaan terhadap agama islam serta melukai perasaan umat muslim.
Pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW telah mengganggu ketertiban umum dalam masyarakat internasonal. Dalam ajaran islam, Nabi Muhammad SAW dilarang untuk dilukiskan dalam bentuk apapun. Selain itu gambar kartun dan karikatur Nabi Muhammad SAW bertentangan dengan Pasal 29 ayat (3) DUHAM yang menyatakan bahwa, hak-hak kebebasan ini sekalipun tidak boleh dijalankan dengan cara yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan dasar-dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tentunya tujuan DUHAM salah satunya yaitu penghormatan HAM dan perdamaian dunia.
Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik), terkait dengan kebebasan berekspresi tercantum dalam Pasal 19 ayat (2) disebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya”. Pada dasarnya pasal tersebut menegaskan prinsip kebebasan berekspresi yang tidak hanya dalam soal mengemukakan pendapat, tetapi juga dalam hal mencari, menerima dan memberikan informasi serta pikiran apapun juga.
Disisi lain Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik juga memberikan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 ayat (3) yaitu bahwa “pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat (2) pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a) Menghormati hak atau nama baik orang lain; b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.”
Berkenaan dengan pembatasan kebebasan berekspresi dapat dilakukan untuk menjaga nama baik seseorang, melindungi keamanan, kesehatan, ketertiban dan moral umum melalui undang-undang dan sepanjang pembatasan itu sesuatu yang diperlukan. Selain itu pembatasan dilakukan dengan memperhatikan etika dan moral publik.
Pasal 10 ayat (1) Konvensi HAM Uni Eropa berkenaan dengan kebebasan berekspresi menyatakan “everyone has the right to freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to receive and impart information and ideas without interference by public authority and regardless of frontiers. This Article shall not prevent States from requiring the licensing of broadcasting, television or cinema enterprises”.
Selanjutnya pembatasan terhadap kebebasan berkespresi dinyatakan dalam ayat (2) yang berbunyi the exercise of these freedoms, since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary”. Terlihat bahwa kebebasan ekspresi seseorang tidaklah mutlak, akan tetapi tetap dibatasi antara lain oleh hak dan kebebasan orang lain, moral, serta keamanan nasional.
Majelis Umum Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) mengadopsi Deklarasi Amerika tentang Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Manusia pada tanggal 2 Mei 1948, beberapa bulan sebelum PBB mengadopsi Deklarasi Universal. Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia, yang diadopsi pada tahun 1969, menguraikan dan memperluas kewajiban yang diatur dalam Deklarasi Amerika, memberi kewenangan tambahan pada Komisi Antar-Amerika, dan membentuk Mahkamah Hak Asasi Manusia. Ke-35 negara anggota OAS berkewajiban (tetapi tidak terikat menurut hukum) untuk menaati Deklarasi; 23 negara anggota (bukan Amerika Serikat atau Kanada) adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi. Pasal 13 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia menguraikan perlindungan positif, serta pembatasan yang dapat diterapkan pada, hak atas kebebasan menyampaikan pendapat dalam lima ayat.
Dalam ayat (1) menyatakan hak positif dengan susunan kata yang hampir identik dengan Kovenan Internasional. Walaupun tidak menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat tanpa pembatasan, perlindungan itu dinyatakan secara implisit. Sementara itu pada ayat (2) secara eksplisit melarang penyensoran sebelumnya dan menyebutkan dasar-dasar untuk melakukan penuntutan di kemudian hari. Dalam pendapat penasehat, Pengadilan Antar Amerika memutuskan bahwa syarat yang mengharuskan wartawan untuk memiliki izin, melanggar larangan terhadap penyensoran sebelumnya. Pada dasarnya Pasal 13 tersebut membolehkan setiap orang untuk bebas berekspresi tetapi menolak kemutlakannya. Kebebasan dibatasi apabila merusak ketertiban, moralitas publik, kehormatan individu serta bertentangan dengan prinsip-prinsip umum hukum masyarakat.
DUHAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Uni Eropa, dan Konvensi Amerika Serikat tentang HAM pada dasarnya menguraikan tiga syarat untuk menentukan keabsahan pembatasan pada kebebasan menyampaikan pendapat yaitu (1) suatu pembatasan harus diatur dalam undang-undang; (2) harus sesuai dengan salah satu tujuan yang dinyatakan secara jelas dalam teksnya; dan (3) harus diperlukan. Instrumen hukum tersebut memperkenankan pembatasan pada tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama.
Isu tentang pelaksanaan HAM tidak lepas dari perhatian umat islam, apalagi negara-negara Islam adalah tergolong dalam barisan negara-negara dunia ketiga yang banyak merasakan ketidakadilan negara-negara barat dengan atas nama HAM. Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of The Islamic Conference (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai dengan syariat Islam di Kairo, yang dikenal dengan nama Cairo Declaration (Deklarasi Kairo).
Dalam Pasal 22 Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam menyatakan:
a. Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-sprinsip syari'at.
b. Setiap orang berhak untuk membela yang benar, mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan munkar sesuai dengan norma-norma syari'at Islam.
c. Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitasi atau disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak, atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan.
d. Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.
Gambar kartun dan karikatur Nabi Muhammad bertentangan dengan syariat Islam dan menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak, dan membahayakan masyarakat.
Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut pula mematuhi dan mengikuti prinsip yang menjadi kesepakatan internasional terkait hak asasi manusia yang penjelmaannya dapat terlihat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi dasar penyelenggaraan negara. Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan komitmen dan upaya negara melalui pemerintah untuk melindungi, memenuhi dan menghormati HAM setiap orang dalam keadaan apa pun, namun dalam menjalankan hak asasi manusia dan kebebasannya terdapat pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Kebebasan berekspresi yang ditunjukan dengan gambar kartun dan karikatur Nabi Muhammad tidak dapat dibenarkan karena telah melecehkan nilai-nilai agama, moral dan ketertiban umum terhadap umat Islam, sehingga bertentangan dengan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penghormatan terhadap HAM di Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 69 ayat (1) menyatakan, setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya ayat (2) menyatakan setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Pasal 70).
Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa (Pasal 73).
Di Indonesia kebebasan pers dibatasi supaya menghormati nilai-nilai agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa, pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tak bersalah. Batas-batas pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan atau di cabut oleh undang undang.
Hal ini dapat dilihat sebagai bagian konsep rule of law yang mensyaratkan bahwa hak harus dilindungi oleh undang-undang, dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi hak hak individu, pemerintah wajib mematuhi persyaratan hukum yang konstitusional. Konsep ini juga mengharuskan pemerintah bertindak sesuai dengan undang-undang dan undang undang yang dijadikan dasar tindakan pemerintah itu tidak bersifat menindas, sewenang-wenang, atau diskriminatif.
Baik dalam instrumen hukum internasional dan peraturan perundang-undangan Indonesia memberikan pembatasan kepada setiap orang dalam menggunakan hak dan kebebasannya. Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan tanpa batas, sehingga gambar kartun dan karikatur Nabi Muhammad SAW sangat bertentangan dengan syariat Islam dan tidak sesuai dengan aturan yang ada dalam instrumen hukum internasional dan juga jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Penulis adalah Seorang Perancang Undang-Undang, Bagian PUU Bidang Politik Hukum dan HAM, sebagai PNS Sekretariat Jenderal DPR - RI dan lulusan Sarjana S1 Hukum Internasional Universitas Lampung serta S2 Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
|