JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi VI DPR RI Abdul Wachid menyesalkan adanya proyek LRT (Light Rail Transit) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi yang dinilainya tidak menyentuh masyarakat kecil.
Hal tersebut diungkapkannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR dengan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di ruang rapat Komisi VI, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/7).
"Saya menilai proyek LRT tidak menyentuh rakyat miskin. Karena sempat disebutkan rencana tiket LRT itu sebesar 12 ribu rupiah untuk sekali jalan. Jumlah sebesar itu mana mungkin bisa untuk rakyat kecil. Masyarakat menengah ke ataslah yang bisa menjangkau harga sebesar itu. Namun saya tidak yakin masyarakat menengah ke atas mau menggunakan transportasi publik tersebut. Mereka akan lebih memilih menggunakan transportasi pribadi. Di sini terus terang, jika yang lain setuju dengan proyek ini, saya malah yang termasuk tidak setuju," ungkap Wachid.
Terlebih lagi, lanjut Wachid, proyek tersebut menggunakan dana yang diambil dari Penyertaan Modal Negara (PMN) yang pada awalnya ditujukan untuk Pulau Sumatera. Padahal ia menilai justru Pulau Sumatera lah yang sangat membutuhkan transportasi untuk meningkatkan perekonomian antar daerah di Sumatera.
Sementara. Komisi VI DPR RI juga mempertanyakan perubahan kontraktor dalam proyek Light Rail Transit (LRT) yang awalnya dilakukan oleh PT Adhi Karya, belakangan dikelola oleh PT KAI. Hal tersebut terungkap dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR dengan beberapa BUMN termasuk PT Adhi Karya (AK), di ruang rapat Komisi VI DPR, Senayan Jakarta, Rabu (19/7).
"Awalnya LRT Jakarta-Cikampek ini merupakan proyek Adhi Karya, tapi kenapa sekarang dipegang PT KAI. Kalau Penyertaan Modal Negara (PMN) ini tidak disetujui, apa Adhi Karya akan kolaps. Sementara AK ini merupakan BUMN yang harus tetap sustainable. Kita punya tanggung jawab moral, jangan sampai BUMN ini kolaps," ujar Ketua Komisi VI DPR RI Teguh Juwarno.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Wahyu Sanjaya. Politisi Fraksi Partai Demokrat itu juga mempertanyakan kenapa proyek tersebut dialihkan ke PT KAI, tidak tetap dilakukan oleh PT Adhi Karya saja dengan mengajukan PMN sendiri.
Pada kesempatan itu salah satu Direksi PT Adhi Karya menjelaskan bahwa dalam proyek LRT itu sejak awal PT Adhi Karya hanya bertindak sebagai kontraktor yang menerima proyek dari Kementerian Perhubungan.
Sedangkan pembiayaan proyek tersebut berada dalam wewenang Kementerian Perhubungan yang didalamnya melibatkan PT KAI. Disini ia juga mengungkapkan bahwa kontrak dalam proyek tersebut tetap dilakukan oleh PT Adhi Karya dengan Kementerian Perhubungan, bukan dengan PT KAI.
Pekan sebelumnya, Menteri BUMN yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa total PMN yang diterima PT KAI sebesar Rp 2 triliun. Hal itu sejatinya digunakan untuk menyelenggarakan kereta api Trans Sumatera.
Namun karena belum adanya infrastruktur kereta api ditambah beberapa permasalahan terkait pembebasan lahan, maka PMN untuk PT KAI itu dialihkan untuk menunjang kemampuan BUMN Kereta Api dalam menjalankan pembangunan sarana dan prasarana proyek LRT Jakarta Bogor Depok Bekasi (Jabodebek). (Ayu,sf/sc/DPR/bh/sya) |